horizontal banner

Saturday 1 December 2018

Resonation Women Conference 2018

Baru pulang dari Resonation Women Conference di The Kasablanka..harus langsung sharing di blog, biar nggak lupa hehehe..



Acaranya dibuka dengan presentasi oleh salah satu milenial terkaya asal Australia, Gretta van Riel (28 tahun). Gretta yang awalnya bekerja di perusahaan yang memproduksi teh, kemudian mencoba meracik tehnya sendiri (brandnya berjudul SkinnyMeTea), dan akhirnya memutuskan untuk resign dari kantor dan membuat brand tehnya sendiri. Iapun memasarkan produknya secara online. Menariknya adalah, Gretta mengaku tidak memiliki pengalaman berbisnis sebelumnya dan saat ia memulai bisnisnya ini ia hanya memiliki uang $24 di bank! Believe it or not..Mulai dari satu langkah kecil, kemudian berlanjut ke langkah kecil berikutnya, dan berikutnya dan berikutnya..sampai kemudian dalam kurun 5 tahun, ia telah memiliki 5 brand dan tahun ini ia masuk dalam jajaran orang terkaya di Asia versi majalah Forbes. Gretta banyak cerita mengenai pentingnya melakukan intemet marketing, baik itu melalui media sosial maupun email, dan ia juga menekankan pentingnya berkolaborasi dengan influencer. Tips-tips bagaimana memulai bisnis oleh Gretta dapat dilihat di https://www.shopify.com.au/blog/instagram-course . Dan quote  yang berkesan bagi saya adalah saat Gretta mengutip quote Reid Hoffman,"If you are not embarrassed by the first version of your product, you've launched too late." Artinya, saat punya ide, jangan dipikirkan kelamaan, yang penting action! :-)



Pembicara selanjutnya adalah panel yang terdiri dari 3 wanita hebat: Eka Sari Lorena (CEO transportasi Lorena), Grace Natalie (pendiri Partai Solidaritas Indonesia), dan Stefanie Kurniadi (pendiri CRP Group - Warunk UpNormal, Bakso Boedjangan dll). Yang berkesan dari Eka Sari Lorena adalah meskipun beliau harus berkutat dengan bisnis yang didominasi pria, namun justru beliau bisa menjadikan feminitasnya sebagai kekuatan, bukan sebaliknya. Dari Grace Natalie, saya belajar bahwa saat ada kenyataan yang tidak sesuai harapan, ketimbang terus mengeluh tanpa melakukan apa-apa, kenapa kita tidak melakukan sesuatu? Itulah yang dilakukan oleh Grace Natalie. Saat melihat kondisi produktivitas dewan rakyat yang jauh dari harapan, Grace memillih untuk bertindak. Meskipun ia perempuan, dan dari agama serta etnis minoritas, itu tidak menyurutkan semangatnya untuk memperjuangkan sesuatu yang diyakini benar olehnya. Sementara dari Stefanie Kurniadi, saya belajar bahwa segala yang dihasilkannya sekarang adalah buah kerja keras selama 13 tahun. Mungkin orang-orang tahunya bahwa Warunk UpNormal dan Bakso Boedjangan baru berdiri 3-4 tahun, namun yang orang tidak tahu adalah jatuh bangunnya Stefanie dan teman-temannya saat membangun bisnis selama 9 tahun pertama, dimulai dari situasi kepepet yang mengharuskan Stefanie mencari duit saat masih kuliah di Bandung sehingga ia harus bangun pagi setiap hari, ke pasar dan memasak nasi goreng, sampai sekarang ia dan teman-temannya sudah memiliki 200 outlet di seluruh Indonesia. 

Setelah break makan siang, acara dilanjutkan oleh diskusi kelompok-kelompok kecil, dimana audience telah dibagi ke dalam kelompok-kelompok dimana masing-masing kelompok akan difasilitasi oleh wanita-wanita hebat yang telah dipilih oleh panitia. Saya yang sekelompok  dengan kedua teman saya, difasilitasi oleh seorang SVP Citibank. Kami berempat saling sharing tantangan dan hambatan yang dihadapi masing-masing, dan kamipun saling menguatkan. Dan satu hal saya belajar disini, ternyata pergumulan yang saya alami "tidak ada apa-apanya" dibandingkan dengan teman-teman yang lain. Dan saat saya melihat bahwa meski sempat terpuruk namun mereka bisa bangkit, hal itu menjadi motivasi buat saya. Thank you so much ladies for your sharing :-) :-) 



Sebelum sesi terakhir, Nina Moran, pendiri majalah GoGirl!, sempat menyampaikan satu dua patah kata yang benar-benarnya empowering..dan itu bukan karena Nina baru saja menceritakan kisah suksesnya, melainkan yang sebaliknya..Nina bercerita bahwa 3 tahun terakhir ini mungkin adalah 3 tahun "terkelam" dalam hidupnya..mulai dari masalah dengan pajak, yang mana hal ini membuatnya harus dioper sana, dioper sini, dan masalah pajak ini baru rampung setelah kurang lebih 2 tahun, sampai puncaknya Nina harus kehabisan cash dan Agustus 2018 adalah bulan terbitnya edisi GoGirl! yang terakhir :'-( Terpuruk? Pasti. Tapi Nina memilih untuk bangkit. Mulai sesuatu yang baru. Tidak tenggelam, namun memilih untuk jalan terus. Another inspiring woman to learn from :-)  (Sekali lagiiii, masalah gue nggak ada apa-apanya ternyataaaa)

Sesi terakhir adalah sesi Idil Ahmed  (penulis buku Manifest Now) dan Maya Hasan (pemain harpa). Idil menekankan pentingnya melepas masa lalu, termasuk kenangan pahit masa lalu. Saat kita mampu memaafkan diri sendiri, dan melepaskan masa lalu, disitulah awal segala perubahan itu terjadi. Kitapun menjadi "manusia baru". Dan saat  kita telah menjadi "manusia baru", milikilah impian, tulis impian itu, dan mulailah berpikir dan terus berafirmasi bahwa kita bisa dan akan bahkan sudah mencapai impian itu. Dan impian itupun akan menjadi kenyataan. Jadi Idil menyuruh audience menutup mata, ia mulai mengucapkan kalimat-kalimat afirmasi dengan nada bicaranya yang syahdu, ditambah dengan iringan permainan harga Maya Hasan yang menyejukkan, lengkap sudah kesan yang diciptakan acara ini :-D


Thank you so much buat my "lady boss" friend, Ms Jane Aurora, yang sudah mengundang aku ke acara nan keren iniii...

 

Friday 27 July 2018

Tujuan Pendidikan Anak: Sekedar Untuk Mencari Pekerjaan?

Buat apa anak-anak kita belajar? Buat apa anak-anak kita sekolah? Buat apa mereka menuntut ilmu? Apakah sekedar untuk mendapatkan nilai, atau demi mendapatkan ilmu itu sendiri? Apakah sekedar untuk mendapatkan pekerjaan yang merupakan bagian dari hidup, atau untuk kelak menghidupi hidup itu sendiri? Apakah sekedar untuk kelak bisa mencari uang, atau lebih dari itu? 

Menurut Charlotte Mason,  seorang filsuf pendidikan dari Inggris, tujuan pendidikan seharusnya adalah bukan hanya untuk mencetak manusia-manusia yang bisa bermata pencaharian, melainkan mencetak manusia-manusia yang berkarakter luhur. Bukan hanya untuk menghasilkan manusia-manusia yang dapat bermanfaat bagi dirinya, melainkan juga bermanfaat bagi orang lain dan lingkungannya. Bukan hanya ujung-ujungnya demi uang, melainkan demi sesuatu yang jauh lebih besar dari itu.

Jika kita melihat proses pendidikan di sekolah pada umumnya, kita dapat melihat satu proses pendidikan dimana bukan murid yang banyak melakukan proses belajar, melainkan guru! Guru memegang peran yang sangat dominan dalam proses berpikir, dalam proses belajar. Sementara murid tidak perlu lagi banyak berpkir. Dalam tulisannya di Homeschooling Series Volume 6 bab 7, Charlotte Mason mengambil contoh proses belajar menggunakan metode unit studies. Dalam hal ini, saat mempersiapkan materi ajar, guru bekerja begitu keras,berpikir begitu keras dalam menyusun materi ajar berkenaan dengan satu tema, misalnya tema Robinson Crusoe. Materi-materi pelajaran seperti sastra/ bahasa, seni rupa, bahkan geografi dan sejarah akan disusun seputaran tema ini.  Untuk mata pelajaran bahasa, contoh topik yang diangkat adalah "Robinson mendaki bukit dan menemukan bahwa ia berada di sebuah pulau". Untuk pelajaran menggambar, mungkin anak diminta menggambar kapal, dayung, jangkar dan lain-lain. Dan untuk pelajaran menulis kreatif, contohnya para murid diminta menuliskan beberapa kalimat, dan kemudian guru akan menggabungkan kalimat-kalimat tersebut di papan tulis, dan para murid diminta untuk menyalin hasil penggabungan tersebut. Bahkan matematikapun juga menggunakan tema yang sama. Demikian pula dengan pelajaran menyanyi dan membaca lantang.

Namun sadarkah kita bahwa dari proses pembelajaran di atas, sesungguhnya gurulah yang belajar jauh lebih banyak ketimbang murid? Saat mempersiapkan materi di atas dengan cara membaca materi mengenai Robinson Crusoe lalu "meramunya" menjadi materi di atas, guru bagaikan seorang entertainer yang sedang mempersiapkan "pertunjukan"nya dan murid-muridnya adalah "penonton"nya. Saat "pertunjukan" berlangsung, murid-muridnya nampaknya begitu "menikmati pertunjukan". Namun sesungguhnya yang terjadi adalah, potensi pada otak masing-masing anak tidaklah digunakan sebagaimana mestinya. Proses pembelajaran ini sesungguhnya justru "mengkerdilkan" potensi otak anak-anak. Secara fitrahnya, anak-anak kita memiliki pikiran yang luar biasa. Potensi otak dalam diri mereka sangat besar. Potensi pikiran sebesar ini sesungguhnya siap menampung ilmu yang amat beragam dan tingkatan sastra yang tinggi. Ketimbang guru berpikir keras untuk "meramu" buku Robinson Crusoe versi orinisil agar "disesuaikan" dengan anak, seharusnya guru cukup menyajikan buku Robinson Crusoe yang adalah buku pegangan guru itu sendiri, buku orisinilnya (bukan bacaan hasil "ramuan" sang guru), untuk kemudian anak membaca dan menelaahnya sendiri dan membuat komposisi dari apa yang ia baca. Saat proses membaca, menelaah dan membuat komposisi dari buku orisinil inilah proses pembelajaran anak terjadi. Pikiran anakpun akan bertumbuh sesuai dengan potensinya. Tidak terjadi "pengkerdilan" potensi anak dalam proses pembelajaran seperti ini. Justru pikiran anak-anak akan bertumbuh optimal. Ibarat tubuh fisik anak, kita perlu memberikan nutrisi yang tepat. Meskipun anak-anak begitu menyukai permen, bukan berarti permen baik untuk pertumbuhan fisik mereka. Demikian halnya dengan intelektualitas, perkembangan jiwa maupun spiritual. Pertumbuhan secara optimal hanya akan terjadi jika kita memberikan "nutrisi" yang tepat, dalam hal ini bacaan-bacaan yang berkwalitas. Bacaan berkwalitas yang dimaksud disini adalah yang memiliki tingkat literasi yang tinggi. Saat kita menyajikan anak-anak dengan bacaan berkwalitas semacam ini, secara otomatis pikiran mereka akan memilah, mengatur, menolak maupun mengelompokkan ide-ide yang mereka terima. Dan proses ini tidak akan terjadi apabila guru mengambil seluruh peran proses berpikir ini dan hanya menjadikan anak-anak sebagai "penonton". 

Sekali lagi, menurut Charlotte Mason, kita tidak bisa meremehkan kemampuan berpikir anak. Jika guru mengambil semua peran dalam proses berpikir tersebut (saat guru bekerja keras mengumpulkan dan "meramu" materi ajar), anak tidak lagi kebagian tantangan dalam proses berpikir tersebut.  Anak-anak sangat perlu dilatih untuk membaca dan menelaah bukunya sendiri karena disinilah proses berpikir dengan penuh konsentrasi terjadi. Dan sekali lagi, yang menjadi tujuan pendidikan disini bukanlah sekedar untuk meningkatkan kemampuan teknis, melainkan meningkatkan kemampuan berpikir dan berpendapat secara mandiri, memelihara rasa ingin tahu dan kemampuan berimajinasi anak. Penting bagi sekolah untuk mengajar anak-anak kemampuan teknis untuk menjadi dokter atau pengacara. Namun yang jauh lebih penting adalah mengajar mereka untuk bekerja secara sistematis dan berpikir secara mandiri. Kemampuan inilah yang akan mempersiapkan mereka untuk kelak menjalankan profesi ataupun jalan hidup apa saja.

Sambil mengutip perkataan Alexander Paterson, Charlotte berkata bahwa yang terpenting dalam proses pendidikan adalah bukan mengajar anak kemampuan teknis kedokteran ataupun ilmu keuangan, melainkan kemampuannya berimajinasi, kemampuannya memilah dan menilai, serta perkenalkanlah anak dengan beragam minat, maka anak akan siap untuk menggeluti profesi apapun. Dan pada saat yang bersamaan, anak akan menjadikan dirinya berguna bagi orang lain, dan ia akan menemukan kenikmatan dalam kemampuannya melakukan observasi terhadap alam sekitar. Anak juga akan mampu memanfaatkan waktu luangnya dengan kegiatan-kegiatan yang menarik, di samping ia akan menjadi tetangga dan anggota masyarakat yang baik. Jadi tujuan akhirnya disini adalah, tidak hanya anak kelak mampu menghidupi dirinya sendiri, melainkan juga mampu benar-benar menghidupi hari-harinya.

Sebagai kesimpulan, menurut Charlotte, sama seperti yang dikatakan Isa Almasih, bahwa seseorang tidak hidup dari roti saja, melainkan dari setiap perkataan yang keluar dari mulut Allah. Artinya, manusia hidup bukan hanya untuk bekerja agar bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Spiritualitas manusiapun harus bertumbuh. Itulah hidup yang sesungguhnya.  Makanan spiritual yang dibutuhkan manusia adalah kebenaran yang dibungkus dalam bentuk mata pelajaran agama, puisi, seni, penemuan-penemuan ilmu alam dan juga sastra. Pendidikan yang berlandaskan kemanusiaan seperti inilah yang menjadi dasar yang kuat untuk membangun manusia, baik kelak ia akan berprofesi sebagai pengusaha maupun petani.

Disadur bebas dari: Charlotte Mason Homeschooling Series Vol. 6 Chapter 7.

Friday 25 May 2018

Otoritas dan Ketaatan

Tadi teman-teman praktisi Charlotte Mason ("CMer") kembali bertemu untuk membahas bab 4 dari volume 6 Homeschooling Series-nya Charlotte Mason. Bab kali ini berjudul "Authority and Docility" alias "Otoritas dan Ketaatan".

DIsini dibahas pentingnya mengajarkan anak-anak kita untuk tunduk pada otoritas. Tentu otoritas pertama anak-anak adalah orangtua. Meskipun kita sebagai orangtua tidak boleh bertindak otoriter terhadap anak-anak, namun sudah seharusnya kita sebagai pemegang otoritas atas anak-anak, mengajarkan mereka bahwa mereka harus tunduk, taat pada orangtua. Dan yang menarik disini adalah ketaatan seperti apa yang diharapkan dari anak-anak kita. Ternyata bukanlah ketaatan atau sikap tunduk yang berasal dari rasa takut akan hukuman, melainkan ketaatan yang didasarkan atas kerelaan. Ketaatan yang tidak didasarkan oleh paksaan. 

Bagaimana seorang anak dapat taat dengan kerelaan, tanpa paksaan? Ini akan terjadi apabila mereka melihat bahwa orangtua tidak menjalankan otoritasnya dengan sewenang-wenang, dan tidak menjalankan otoritasnya berdasarkan ego orangtua; melainkan anak-anak juga melihat bahwa orangtuapun tunduk pada otoritas yang lebih tinggi. Sebagai contoh, istri tunduk pada suami; sebagai anggota masyarakat, orangtua tunduk pada Pemerintah. Dan pastinya, orangtuapun tunduk pada Tuhan.

Selain itu, apa yang harus dilakukan orangtua atau pendidik agar anak-anak dapat taat dengan kerelaan, tanpa paksaan? Caranya adalah dengan mengijinkan mereka mengambil bagian dalam proses pendidikan mereka. Tugas orangtua atau pendidik hanyalah menyuguhkan anak-anak dengan bacaan-bacaan yang terbaik, dan biarkan anak-anak membacanya, menelaahnya, merenungkannya, dan memilih bagian-bagian bacaan yang mana untuk dijadikan bagian dari diri mereka. Namun bacaan yang kita suguhkan bagi mereka haruslah bacaan-bacaan yang terbaik, bukan bacaan-bacaan yang "garing" dan "tidak hidup". Dari bacaan-bacaan inilah, anak-anak kita akan terbiasa untuk berpikir, mengasimilasi, dan bertumbuh dalam karakter. Bacaan-bacaan bermutu seperti ini akan menggugah benak anak-anak kita sehingga menjadikan mereka bertumbuh dalam karakter dan kepribadian. Dan ketika pikiran dan mental mereka terus bertumbuh, saat itulah anak-anak akan sanggup taat pada otoritas dengan kerelaan, tanpa paksaan.

Sayangnya, dalam prakteknya, banyak orangtua dan pendidik yang "tidak mengijinkan" anak-anak untuk andil dalam proses pendidikan mereka. Ketimbang menyuguhkan anak-anak dengan bacaan-bacaan terbaik, orangtua atau pendidik berusaha keras untuk mempersiapkan materi ajar sedemikian rupa sehingga materi tersebut nampak begitu menarik bagi anak-anak, lengkap dengan ilustrasi dan alat peraganya yang "meriah", atau menyediakan bagi mereka ringkasan dari bacaan materi belajar, dan pertanyaan-pertanyaan testing yang "menjemukan". 

Proses belajar seperti ini sebenarnya tidak melatih anak-anak kita untuk berpikir, melainkan orangtua dan pendidiklah yang melakukan proses berpikir itu bagi mereka. Secara tidak sadar, orangtua dan pendidik telah "meremehkan" kemampuan anak-anak dalam berpikir dan berfokus, padahal mereka memiliki kemampuan yang luar biasa di ranah ini. Pendidik seringkali berusaha sekuat tenaga untuk membuat anak-anak fokus. Padahal sesungguhnya kemampuan fokus sudah ada dalam diri anak, tinggal menunggu untuk difungsikan oleh anak, ibarat lampu untuk menyala tinggal ditekan tombolnya. Pertanyaannya kembali lagi, apakah pendidik sudah menyuguhkan anak-anak dengan bacaan-bacaan yang terbaik? 

Dan yang juga menjadi masalah di lapangan adalah banyaknya orangtua maupun pendidik yang masih "meremehkan" ilmu, "meremehkan" arti pendidikan. Bagi mereka, seseorang mencari ilmu hanyalah demi kelak mencari uang dan menjadi anggota masyarakat yang baik. Padahal sesungguhnya tugas pendidikan adalah jauh lebih mulia dari itu! Semakin seseorang kaya ilmu, semakin utuhlah ia sebagai manusia. Semakin ia utuh sebagai manusia, semakin efektiflah ia dalam pekerjaannya dan semakin bermanfaatlah ia bagi sesama! Dan sekali lagi, dalam proses pendidikan ini, betapa pentingnya kemampuan fokus seseorang. Dan kemampuan ini sudah ada dalam diri anak-anak kita! Dengan kemampuan ini, anak-anak kita mampu menikmati ilmu yang mereka pelajari, yang mana hal ini tentu akan memuaskan keingintahuan mereka yang besar!

Sebuah catatan di bawah ini bisa menjadi contoh seorang anak yang disuguhi bacaan-bacaan terbaik dan memberi kesempatan bagi si anak untuk andil dalam proses pendidikannya sendiri: "Ibu saya mengajak seorang anak ke Westminster Abbey. Disana, si anak menceritakan begitu banyak hal kepada saya mengenai hal-hal yang kami saksikan disana. Anak itu sangat menyukai arsitektur. Dia juga begitu antusias untuk mengunjungi British Museum. Ia ingin menyaksikan hal-hal yang ia telah baca di pelajarannya terdahulu. Dan keesokan harinyapun kami kesana. Saat berada di Parthenon Room, dia dapat menceritakan banyak hal dengan amat detil! Dia mengajarkan banyak hal pada saya!"

Betapa luar biasanya ketika seorang anak dapat andil dalam proses pendidikannya sendiri, saat anak dapat "mengajar" dirinya sendiri. Dengan proses pendidikan seperti ini, kita tidak akan lagi menyaksikan para lulusan sekolah tanpa minat ilmu. Sebaliknya, anak-anak kita akan berminat pada ilmu, pelajaran sejarah dan sastra tidak akan membosankan bagi mereka, hasil penelitian terbaru akan menarik minat mereka, dan kehidupan dewasa mereka kelak akan utuh sebagai manusia, tidak sekedar hidup untuk mencari uang dan bersosialisasi.




 

Friday 23 March 2018

Anak Mendidik Diri Sendiri ( "Self Education" )


Saat membantu anak mengerjakan PR, biasanya anak akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan berbentuk esai terkait dengan topic yang baru ia pelajari, atau pertanyaan berbentuk pilihan berganda, atau juga anak disuruh mengisi titik-titik.

Atau bagi kita yang berprofesi sebagai guru, tidak asing lagi bagi kita untuk selalu mempersiapkan banyak hal sebelum kita mengajar kelas, baik itu kelas besar maupun kelas kecil. Mulai dari mempersiapkan alat peraga, bahan/ materi pelajaran yang disajikan semenarik mungkin, sampai mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan untuk kita ajukan pada murid. 

Namun saat saya berkenalan dengan tulisan sosok pendidik legendaris Inggris, Charlotte Mason (CM), untuk pertama kalinya saya berkenalan dengan istilah “self-education”, atau “mendidik atau mengajar diri sendiri”. 

Menurut CM, saat anak manusia lahir, ia telah memiliki otak yang sempurna. Pengertian otak yang sempurna disini adalah bahwa otak tersebut telah sempurna untuk menelaah atau mencerna apa yang perlu ditelaah/dicernanya. Sama seperti saat lahir, seorang bayi telah memiliki organ pencernaan yang “sempurna” untuk mencerna ASI dan saat bayi berumur 6 bulan maka organ pencernaan bayi telah “sempurna” untuk mencerna makanan pendamping ASI, maka demikianlah dengan otaknya. Otaknya telah sempurna adanya.  Bedanya adalah, organ pencernaan berfungsi untuk mencerna makanan bagi fisik manusia, mulai dari karbohidrat, lemak dan lain-lain, sedangkan otak berfungsi untuk “mencerna” makanan bagi jiwa manusia. Ups, makanan bagi jiwa?

Sebagaimana tubuh/ fisik manusia membutuhkan makanan, demikian pula dengan jiwa manusia. Jiwa manusia membutuhkan “makanan”. Dan menurut CM, “makanan” bagi jiwa manusia adalah ide-ide atau gagasan-gagasan. Baik itu intelektual maupun karakter manusia, terbentuk dari ide-ide yang masuk ke dalam otak maupun jiwanya. Eksperimen science, keindahan alam, studi alam, gerakan ritmis, pelatihan sensorik, penemuan-penemuan, cerita-cerita yang didengar, cerita-cerita tradisi keluarga, filosofi, semua ini akan melahirkan ide-ide di benak manusia. Dan kesemua hal di atas dapat tercakup di dalam benda yang bernama buku. Itu sebabnya mengapa tidak ada hal lain yang dapat menyediakan ide secara berlimpah kepada manusia selain buku, termasuk e-book (kalau jaman sekarang hehehe…). Ide-ide terhebat dan terluhur dari orang-orang terhebat dan terluhur di dunia ini dapat kita akses melalui buku.  Hanya dengan menyajikan buku-buku terbaik bagi anak-anak kita (termasuk bagi diri kita sendiri), maka jiwa kita, juga intelektual kita, akan “dikenyangkan”. 

Saat kita sebagai guru maupun orangtua, mampu menyajikan anak buku-buku terbaik bagi anak-anak, maka dengan sendirinya, otak anak akan mencernanya sesuai dengan kapasitasnya yang luar biasa, dan jiwa dan intelektual anak akan mendapatkan ide-ide yang dibutuhkannya untuk “mengenyangkannya”. Jadi disini tugas orangtua dan guru hanyalah menyajikan buku-buku tersebut secara teratur. 

Anak-anak kita memiliki otak dan pikiran yang luar biasa. Sesungguhnya saat kita menyajikan mereka buku-buku yang terbaik, maka kita sebagai guru maupun orangtua tidak perlu lagi memberi mereka pertanyaan-pertanyaan untuk menguji pemahaman mereka baik itu dalam bentuk esai, pilihan berganda maupun mengisi titik-titik. Karena sesungguhnya hal ini sama dengan kita hendak menguji apakah otak anak telah berfungsi sebagaimestinya. Ibaratnya, apakah kita sebagai orangtua perlu memastikan apakah organ pencernaan anak telah berfungsi dengan baik? Tentu tidak. Tugas kita hanyalah memberikan anak makanan yang sehat, bukan malah makanan instan misalnya. 

Dan saat kita menyajikan mereka buku-buku yang terbaik, maka anak-anak otomatis akan memberikan perhatian, menunjukkan minat, mau berkonsentrasi, tanpa guru atau orangtua harus bersusah payah menuntut anak untuk menyukai buku pelajaran/ buku bacaan mereka. Dan juga dengan cara belajar seperti ini, anak-anak akan mampu mengekspresikan diri mereka dengan bahasa yang baik dan kosakata yang kaya. Anak-anak juga cenderung menjadi lebih tenang/ stabil dan karakter merekapun akan terdidik. Dan yang tak kalah ajaibnya, anak-anak juga akan mencintai buku mereka (tidak hanya buku cerita!), dan mereka akan suka belajar! Dan saat mereka mencapai tahap ini, tak perlu lagi guru ataupun orangtua menstimulasi keinginan belajar mereka dengan hadiah, nilai dan lain-lain!

Dengan cara seperti ini, anak-anak tidak akan terlalu bergantung pada keberadaan sosok guru yang harus bersusah payah menyediakan alat peraga, materi dengan tampilan yang menarik dan lain-lain. Anak-anak akan mampu “mendidik” diri mereka sendiri melalui buku-buku terbaik yang disajikan bagi mereka. Melalui cara seperti ini, kita sebenarnya sedang membimbing anak-anak kita agar mereka memiliki motto hidup, “I am, I can, I ought, I will” (“Aku sebagaimana aku, aku bisa, aku wajib, aku akan”). Dengan moto seperti ini, mereka belajar menjadi anak-anak yang mengetahui nilai diri mereka, dan memahami kapasitas, kewajiban serta memiliki kehendak yang kuat untuk melakukan kewajiban mereka. Hal ini berkebalikan dengan hanya melakukan apa yang mereka sukai.

Esensi  pendidikan menurut CM adalah bagaimana menarik perhatian anak didik, membangun minatnya, membangun gayanya dalam bertutur kata dengan kosakata yang kaya, membangun rasa cinta pada buku dan meningkatkan kemampuannya berbicara. Dan pendidikan menurut CM sama sekali tidak cukup apabila hanya menyentuh intelektual seseorang namun tidak menyentuh jiwanya! Seorang anak yang membaca buku pelajarannya hanya demi mendapatkan nilai bagus mungkin  mampu menghafal begitu   banyak fakta, namun ia tidak akan benar-benar paham. Bukankah tujuan pendidikan adalah bukan semata-mata untuk intelektual, melainkan juga untuk membentuk anak-anak menjadi manusia-manusia yang memiliki kemampuan, anak-anak yang berbakti, paham akan kewajiban mereka serta mampu berpikir secara obyektif serta terus mau belajar? Dan saat sebagai guru dan orangtua menyajikan mereka buku-buku terbaik secara berlimpah, maka kita dengan leluasa akan menjadi mentor, pembimbing dan teman mereka, tanpa harus menjejel mereka dengan fakta-fakta berjubel secara dipaksakan. Disinilah maksud dari anak-anak kita mampu “mendidik/ mengajar” diri sendiri, atau “self-education” melalui buku-buku terbaik yang disajikan bagi mereka.

Sumber : Disunting bebas dari buku The Original Home Schooling Series by Charlotte Masson Volume 6 Book 1 Chapter 1.