horizontal banner

Monday 17 December 2012

Renungan: Apa Tugas Orangtua? (Bagian 2 dari 2 - Tamat)

Saya dan suami tidak lebih dari sepasang manusia dengan banyak kekurangan. Sama halnya dengan setiap manusia, saya dan suami tidak terlepas dari sifat yang kurang baik, dari karakter yang kurang mumpuni, ataupun dari kebiasaan-kebiasaan yang tidak bisa menjadi teladan. Kami punya itu. Kami akui itu. Namun itu sama sekali bukan alasan bagi kami untuk tidak berusaha menjadi orangtua terbaik bagi anak-anak kami. Sama dengan ketika siapapun hendak memulai sebuah bisnis, atau hendak memulai sebuah profesi baru dalam bidang apapun, ketika sepasang manusia memutuskan hendak mempunyai anak, sudah sepatutnya mereka membuat perencanaan, memperlengkapi diri mereka dengan wawasan dan keterampilan yang diperlukan, sambil terus memperbaiki diri selama mengemban tugas baru tersebut.

Tentu tidaklah berarti bahwa untuk menjadi orangtua terbaik, manusia haruslah menjadi sempurna terlebih dahulu. Tidak ada satupun orangtua yang sempurna. Yang ada adalah orangtua yang berusaha menjadi yang terbaik bagi anak-anak mereka. Alangkah indahnya dunia ini jika setiap orangtua memiliki visi yang sama: menjadi orangtua yang terbaik bagi anaknya. Dan untuk menjadi orangtua yang terbaik, tidak cukup jika kita "hanya" meniru apa yang telah orangtua kita lakukan dahulu ketika membesarkan kita. Bersyukurlah jika kita memiliki orangtua yang telah membesarkan kita dengan baik. Namun, tentu jika kita bisa membesarkan anak kita dengan lebih baik lagi, mengapa tidak? Apalagi saat ini adalah era informasi, dimana dengan mudahnya kita dapat memperoleh informasi apapun yang kita butuhkan sebagai bekal wawasan dan pengetahuan kita dalam mendidik dan membesarkan anak-anak kita (beda dengan jaman orangtua kita dulu ketika informasi belum semudah saat ini untuk diakses).  Dan jika kita renungkan, sesungguhnya anak-anak kita saat ini lebih membutuhkan bimbingan orangtua mereka ketimbang ketika kita masih berstatus anak. Mengapa? Jaman sekarang jaman lebih keras. Godaan lebih bertebaran dimana-mana. Akhlak semakin merosot. Jika usaha kita sama apalagi kurang dari usaha orangtua kita dahulu saat membesarkan kita, anak-anak kita tidak akan mampu menjadi berkat bagi kehidupan ini. Anak-anak kita tidak akan mampu menggali potensi terdalam mereka. Anak-anak kita tidak akan mampu memperbaiki lingkungan tempatnya berada. Anak-anak kita tidak akan mampu menciptakan perubahan bagi umat manusia ke arah yang lebih baik.

Yuk para orangtua, hanya 1 kali seumur hidup kita menjalankan profesi ini, yuk kita lakukan dengan sebaik-baiknya, habis-habisan...

Monday 26 November 2012

"Belajar" di Hari Libur


Sebagian besar penduduk Indonesia tentunya berprofesi sebagai karyawan. Kenapa saya begitu yakin? Karena sudah beberapa kali saya baca di surat kabar bahwa prosentase penduduk Indonesia yang berwirausaha hanyalah kurang dari 1%. Selain itu, sebagian besar anak-anak kita juga menuntut ilmu di sistem bernama sekolah. So? Itulah sebabnya (menurut saya ehm;) ), ketika tanggal merah, bukanlah saat yang tepat untuk berlibur ke luar kota. Dan bagi warga Jakarta, saat tanggal merah, bukanlah saat yang tepat untuk berlibur ke Puncak hehehe. Karena di tanggal itulah sebagian besar orang akan melakukan hal yang sama dan sebagian besar anak juga akan bepergian ke tempat yang sama.

Sekitar 2 minggu lalu ketika tanggal merah dan sambil menyaksikan macetnya jalan tol, dimana kami sampai berbalik haluan dan merubah rencana kami semula, saya sempat bergurau ke suami, "Coba kalau warga Jakarta kebanyakan pengusaha, mungkin kejadiannya bakal lain ya?:) "

Yang tadinya kami berencana mengunjungi kawan di Bogor, akhirnya kami berbalik arah ke arah Ciledug. Kalau ke arah balik biasanya tidak macet di musim liburan begini. Justru dari Ciledug orang-orang akan berbondong-bondong ke arah Bogor kali yaa ;) Rencana berubah, yang semula ingin mengunjungi kawan di Bogor, menjadi mengunjungi saudara kami di Ciledug. Meskipun baru dihubungi mendadak, puji Tuhan saudara kami ini ada di tempat dan memang tidak berencana untuk keluar rumah.

Setiba kami disana, kami ngobrol, doa dan makan bersama. Saudara kami ini adalah seorang Opung yang tidak lagi bersuami, punya anak 4 orang dan cucu 2 orang. Dari ke4 anaknya, 3 di antaranya tinggal serumah dengannya. Dan dari ketiga anaknya yang tinggal serumah ini, 1 di antaranya menderita cacat yang sudah memakan waktu puluhan tahun, dan dirawat oleh Opung dan oleh salah 1 anaknya. Inilah pekerjaan Opung dan anak bungsunya sehari-hari: merawat si sulung yang cacat sudah selama puluhan tahun.

Bagi saya yang belum terbiasa mengunjungi orangtua, kunjungan kali ini meskipun "dadakan" dan sederhana, mempunyai makna tersendiri bagi saya pribadi. Disini saya belajar menepis kepentingan sendiri untuk beberapa saat, dan "fokus" pada kepentingan Opung. Walaupun kenyataannnya sih saya tidak terlalu bisa banyak ngobrol dengan Opung karena harus mengawasi kedua anak kami bermain di teras depan. Ibu dan suami saya yang lebih banyak ngobrol dengan Opung.

1 hal yang juga menurut saya menarik adalah di rumah Opung dimana tidak tersedia mainan sama sekali, kedua anak kami nampaknya bisa menikmati "mainan-mainan" yang ada, yaitu sapu, pengki, sapu lidi dan tanah di teras depan hehehe..Dan selama sekitar 1 jam disana, tugas utama saya adalah mengawasi mereka dengan kesibukan mereka menggunakan “mainan-mainan” itu :D Hal menarik lainnya adalah mengamati raut wajah Opung yang bersukacita menerima kunjungan kami, termasuk bersukacita menyaksikan tingkah laku kedua bocah yang sibuk “membersihkan” teras rumah Beliau ;)

Meskipun kunjungan kami hanya memakan waktu sekitar satu jam, namun seperti saya sebutkan tadi, buat saya hari ini mengesankan. Dan ini tidak lepas dari, bahkan justru karena kesederhanaan dan spontanitasnya...Dan nampaknya anak-anak kami disini juga belajar sedikit mengenai kesederhanaan.  Belajar menikmati apa yang ada. Tidak merengek untuk yang tidak ada. Belajar memberi salam ataupun bergaul dengan Opung yang bukan kakek neneknya langsung. Belajar sopan santun di rumah orang lain. Ternyata banyak hal yang mereka dapatkan hari ini, di hari libur yang tanpa mall dan games ini;) Dan dalam perjalanan pulang, kami mampir sebentar ke supermarket untuk membeli bahan membuat cupcake untuk “bermain” di dapur bersama si sulung di sore harinya.

What a sweet holiday..:)



Saturday 10 November 2012

Kelas Ibu Profesional

Hari ini saya baru saja mengikuti sebuah kelas. Dari sekian banyak kelas yang pernah saya ikuti, entah itu jaman sekolah dulu, atau ketika masih meniti karir di sebuah perusahaan, ataupun kini setelah menjadi orangtua dari dua orang anak, kelas seperti tadi, yaitu kelas parenting, adalah salah satu kelas favorit saya:) Kelas yang diadakan oleh ibuprofesional.com ini ditujukan oleh para ibu maupun calon ibu, dengan topik: Membangun Mimpi Keluarga, Digital Mommie, dan Cara Jadi Magnet Uang dari Rumah. Pembicaranyapun seru-seru, yaitu Ibu Septi Peni Wulandari, founder Ibu Profesional; Mira Julia dari rumahinspirasi.com yang juga adalah co-founder Ibu Profesional; dan Ali Akbar pakar SEO kita:)

Sejak saya mengenal istilah homeschooling dan berhasrat untuk meng-homeschooling-kan anak-anak kami kelak, saya semakin bersemangat mengikuti kelas-kelas parenting. Materi-materi parenting sungguh menggugah saya, terutama terkait dengan pendidikan. Pendidikan anak. Ketimbang ilmu hukum, ilmu perbankan maupun ilmu MLM yang pernah saya dapatkan di masa lalu, ilmu parenting adalah ilmu yang selalu membuat saya passionate, bergairah. Dan bisa datang ke kelas seperti hari ini adalah kesempatan yang tidak boleh saya lewatkan.

Di topik yang pertama yaitu Membangun Mimpi Keluarga, saya berkenalan dengan Bu Septi. Beliau antara lain adalah pencipta Jarimatika yang begitu populer. Beliau juga adalah ibu dari 3 orang anak. Banyak kalimat yang diucapkan Beliau tadi yang menggugah saya, antara lain:
  1. Jika kita sebagai wanita bisa profesional di dunia kantor, mengapa kita tidak bisa profesional sebagai ibu rumah tangga?
  2. Jika kita bisa cantik dan rapi ketika hendak ke bank misalnya, mengapa kita tidak bisa cantik dan rapi ketika berada di rumah?
  3. Ketika kita bisa bersungguh-sungguh dalam pekerjaan kita di luar rumah, mengapa kita tidak bersungguh-sungguh dalam melakukan pekerjaan kita di rumah?
  4. Ketika kita (bagi yang berprofesi guru) bisa bersungguh-sungguh saat mengajar anak orang, mengapa kita tidak bersungguh-sungguh ketika mengajar anak sendiri?
  5. Ciptakan impian bagi keluargamu! Dorong anak-anak kita untuk menciptakan impian mereka! Dream, share it, do it!
  6. Di dalam keluarga, sudah seharusnya seluruh anggota keluarga membahas apa yang dapat mereka lakukan untuk mencapai impian bersama, impian masing-masing, maupun apa yang dapat masing-masing lakukan untuk membantu anggota keluarga lainnya mencapai impiannya. Keluarga adalah tim. Jangan malah setiap anggota keluarga sibuk dengan kegiatan masing-masing dan hanya berada di rumah untuk tidur :( Jangan ketika di rumah hanya nonton TV bersama namun ketimbang membahas impian bersama, malah membahas gosip artis :(
  7. Saat kita memiliki impian, bagikan impian itu ke anggota-anggota keluarga kita maupun ke orang lain! Bahkan pengalaman Ibu Septi sendiri, setelah beliau menuliskan/ memvisualisasikan impian Beliau di vision board, beliau tunjukkan vision board tersebut ke banyak pihak. Disini beliau percaya bahwa ketika kita membagikan impian kita ke orang lain bahkan ke banyak orang, maka ini seolah-olah akan menjadi seperti magnet bagi kita untuk semakin dekat dengan impian kita. Mengapa? Karena dengan orang lain mengetahui impian kita, ketika mereka mempunyai informasi ataupun dorongan yang kita perlukan untuk meraih impian kita, mereka akan membagikannya kepada kita!
Dan setelah beliau menutup sesi pertama kelas dan Mba Mira Julia (Mba Lala) membuka sesi berikutnya, Mba Lala mengatakan bahwa Bu Septi ini adalah contoh seorang tokoh yang tidak hanya berhasil di luar rumah, namun yang lebih penting adalah seorang tokoh yang berhasil di dalam rumah, tentu bersama suami dan ketika buah hatinya :) :) :)  Mauuuuuu ;)

Berikutnya di sesi Mba Lala, Beliau kembali mengingatkan para peserta bahwa meskipun kita adalah ibu rumah tangga yang seolah-olah harus "mengubur" impian masing-masing demi membangun impian anak-anak, sesungguhnya di era informasi dan teknologi seperti saat ini, kita tetap dapat membangun impian kita. Dengan internet, segalanya menjadi mungkin:) Pengalaman Mba Lala sendiri, selain membangun impian keluarganya, beliau tetap membangun impiannya sendiri. Dan dengan bekerja dari rumah, "hanya" bermodalkan internet, beliau bisa mempelajari dan mempraktekkan ilmu yang didapatkannya tersebut demi membangun impiannya! Juga mauuuuuu ;)

Terakhir ada Pak Ali Akbar yang juga kembali mengingatkan para peserta bahwa internet dapat menjadi mesin pencetak uang yang dasyat. Untuk itu, yang perlu dikuasai adalah ilmu optimasi (terdiri dari: optimasi mesin pencari, optimasi jejaring sosial dan optimasi perangkat bergerak), bisnis dotkom alias sedot komisi alias makelar:), dan marketing alias makelar everything :D

Yang pasti, sesuai mengikuti kelas tadi, saya menjadi semakin bersemangat untuk membangun impian keluarga termasuk impian saya pribadi! Menjadi ibu rumah tangga fulltimer harus tetap eksis kaaaan ;)


Foto bareng Mba Mira Julia (Lala), salah 1 pembicara :)



Wednesday 7 November 2012

Belajar Lebih Kenal Alam



Saat ini saya sedang mempelajari metode pendidikan milik Charlotte Mason (CM). Dari sekian banyak pemikiran Beliau mengenai pendidikan anak, salah satunya adalah perlunya mendekatkan diri anak-anak dengan alam. Mmm..saya sendiri adalah tipe anak kota yang sedari kecil juga tidak terbiasa dengan yang namanya: alam. Bahkan, kayaknya nama tanaman yang saya tahu itu sebatas pohon kelapa, pohon palem dan pohon cemara :D Suami saya masih jauuuuuh mending dibanding saya. Suami saya masih hobi berkebun, karena memang terbiasa sejak kecil. Well, saya boro-boro. Saat masa-masa sekolahpun saya tidak pernah ikutan tuh yang namanya komunitas pecinta alam atau sejenisnya. 

Namun ketika mempelajari pemikiran CM, saya belajar betapa pentingnya memperkenalkan alam ke anak-anak sejak usia dini. Sayapun menyadari, betapa manusia bisa belajar banyak dari alam. Selain manusia dapat belajar banyak dari alam, manusia juga harus belajar banyak mengenai alam, karena memang hidup manusia tergantung darinya. Dan di era teknologi informasi dan jaman serba instan seperti sekarang, banyak hal yang dapat kita pelajari dari alam yang tidak mungkin kita dapatkan dari gadget atau darimanapun. 

Sejak mempelajari CM, cara berpikir saya mulai bergeser. Yang tadinya tidak terpikir bagi saya untuk mengajak anak-anak piknik di taman di kota sehingar-bingar dan sesemrawut kayak Jakarta, beberapa waktu lalu saya mengajak mereka piknik di Kebun Binatang Ragunan. Yang tadinya saya sama sekali tidak tertarik untuk berkebun, saya belajar mulai "menyentuh" tanah dan bertanya ke ART di rumah mengenai cara berkebun:D Yang tadinya tidak terpikir oleh saya untuk mengijinkan anak saya yang masih 1,5 tahun untuk bermain tanah, sekarang saya ijinkan. Yang tadinya kurang peduli dengan proses pembuatan teh, sekarang ketika berkunjung ke kebun teh, saya belajar lebih peduli:)

Saya menyadari bahwa pengalaman-pengalaman saya bersama suami dan anak-anak kami untuk mengenal alam lebih dekat mungkin tidak akan terasa "natural" bagi saya mengingat saya belum terbiasa "dekat" dengan alam. Namun saya ingin belajar. Saya ingin belajar mulai hal-hal yang kecil: berteriak lepas bebas di alam bebas, memetik bunga-bunga liar dan memperhatikan keindahan serta mencium bau semerbaknya, memperhatikan keindahan pohon-pohon dengan aneka rupa daunnya, serta memperhatikan ulah binatang yang lucu-lucu walau kadang mengagetkan. 

Saya percaya, ketika kami ingin anak-anak kami lebih akrab dengan alam..ketika kami ingin anak-anak kami lebih kenal siapa Tuhannya melalui alam..ketika kami ingin anak-anak kami lebih cinta alam sehingga kelak mereka bukannya merusak melainkan melestarikan alam, maka kami sebagai orangtua harus mulai lebih akrab, mulai lebih kenal, mulai lebih cinta alam terlebih dahulu:)
Anakku Yosua, 5 th, sedang menikmati udara sejuk ;)

Ester, 1,5 th, sedang memperhatikan bunga liar di tangannya :)


it's time for picnic!;)

Tuesday 16 October 2012

Renungan: Apa Tugas Orangtua? (Bagian 1 dari 2)

 
Sejak saya menjadi orangtua, saya beberapa kali merenung mengenai apa sebenarnya tugas orangtua. Semakin anak besar, semakin saya merenungkan hal ini. Semakin saya merenung, semakin saya menyadari bahwa tugas orangtua itu berat. Sangat berat. Bahkan beberapa orang mengatakan ini adalah tugas terberat di dunia. Sebagaimana orangtua muda, sejak menjadi orangtuapun saya dan suami sering mencari referensi bagaimana menjadi orangtua yang baik, bagaimana mendidik anak-anak dengan baik. Begitu banyak referensi yang kami baca, sampai kadang kami bingung sendiri akibat tidak sedikit dari referensi-referensi tersebut yang kadang saling bertolak belakang ;)
 
Kamipun menyadari bahwa ternyata tugas orangtua lebih dari sekedar mencari nafkah bagi anak-anak kami. Ternyata mencari nafkah hanyalah sebagian kecil kewajiban orangtua untuk memenuhi kebutuhan fisik anak. Yes, kebutuhan fisik. Ternyata ada yang lebih penting dari kebutuhan fisik : kebutuhan emosional.
 
Kadang saya suka sedih kalau memikirkan betapa banyak anak yang "disia-siakan" oleh orangtua mereka. Tidak hanya disia-siakan secara fisik, namun secara emosional. Saya suka sedih memikirkan betapa orangtua jaman sekarang, termasuk kadang kami sendiri, oleh karena itu kami terus memperbaiki diri, begitu sibuk dengan diri kami sendiri. Sibuk mencari nafkah. Sibuk memikirkan bisnis. Sibuk mengejar deadline. Sibuk dengan segudang kegiatan mereka yang "menarik" di luar sana. Sibuk sibuk sibuk. Bahkan saking sibuknya, para orangtua berpikir seolah-olah "cukup" jika mereka telah memenuhi kebutuhan fisik anak, yaitu memberikan makan, membelikan baju dan mainan baru, atau mengajak mereka berlibur.
 
Tidak jarang saya sedih memikirkan kadangkala kita sebagai orangtua tidak punya waktu untuk "memperpintar" diri sendiri untuk menjadi orangtua yang semakin baik. Padahal di sisi lain kita semua tahu, betapa orangtua itu telah diberi kepercayaan dari Tuhan untuk mendidik, membesarkan anak-anak manusia untuk kelak menjadi berkat bagi kehidupan di bumi ini. Bumi yang sangat membutuhkan manusia-manusia dengan karakter. Tidak pernah bumi membutuhkan hal ini melebihi sekarang ini. Kadang saya berpikir, betapa tanpa persiapan apapun, terutama pengetahuan, banyak pasangan langsung "nyemplung" untuk menjadi orangtua. Bagaimana jika setelah mempunyai anak, pasangan-pasangan ini tetap tidak punya waktu untuk belajar bagaimana menjadi orangtua yang terbaik bagi anak-anak mereka?
 
(Bersambung...)
 
Sumber gambar: rineyjordan.com

Friday 5 October 2012

Cinta Yang Berpikir: Metode Pendidikan Charlotte Mason

Ketika saya mencari keluarga-keluarga lain pelaku homeschooling di Jakarta Selatan lewat milis SekolahRumah, saya kenalan dengan keluarga yang menerapkan sebuah metode homeschooling yang sebelumnya kurang akrab di kuping saya: metode Charlotte Mason. 

Kalau Montessori dan unschooling saya pernah dengar sebelumnya, namun Charlotte Mason saya baru dengar. Sayapun mencari tahu mengenai metode ini, karena nampaknya menarik. Dan setelah mencari tahu lebih jauh, akhirnya saya berkenalan dengan buku yang ditulis oleh Ibu Ellen Kristi yanng berjudul Cinta Yang Berpikir. Buku ini merupakan “pengantar“ sebelum kita berkenalan lebih akrab dengan metode pendidikan Charlotte Mason (CM).
Di buku ini dijelaskan singkat mengenai siapa itu CM, bagaimana metodenya, dan juga ada komparasi metode CM dengan metode-metode pendidikan lainnya terutama yang digunakan dalam homeschooling.
CM adalah wanita berkewarganegaraan Inggris yang merupakan salah satu tokoh pendidikan yang berpengaruh di dunia hingga saat ini. Beliau telah menulis pandangannya mengenai  pendidikan sebanyak 6 volume, dan di artikel ini saya akan sedikit memaparkan poin-poin penting yang menjadi “andalan” dan “pembeda” antara metode ini dengan metode lainnya. Berikut beberapa “andalan” dari metode ini yang praktis dan begitu berkesan buat saya pribadi: (untuk memahami metode CM, tidak cukup jika hanya membaca buku Cinta Yang Berpikir melainkan harus membaca keenam volume tulisan Beliau mengenai pendidikan)

  1.  Anak harus diekspos sebanyak mungkin dengan alam (nature) sejak dini, karena disitulah mereka akan belajar menggunakan panca inderanya secara maksimal, termasuk melatih kemampuan observasi, kemampun imajinasi, juga akan membuat anak-anak lebih bahagia serta lebih mengenal kepada Sang Pencipta dan ciptaanNya.
  2. Anak harus sejak dini disuguhkan buku-buku terbaik yang bermakna dan dapat menciptakan "relasi" dengan anak. CM menggunakan istilah "living book" untuk buku dengan kriteria demikian. Jadi disini, CM sangat pantang memberikan anak-anak buku-buku teks "kering" yang hanya bersifat "teoritis", tanpa "emosi" atau "makna" di dalamnya, sehingga setelah membaca buku-buku teks tersebut, anak hanya akan memahami teori yang ada, mungkin juga menghafalnya, namun karena kurang kesan ataupun makna yang ditangkap oleh anak, pemahaman ataupun hafalan tersebut tidak akan berdampak secara jangka panjang dan tidak akan tercipta "relasi" antara anak dengan buku tersebut. Contohnya adalah, ketika anak sedang mempelajari gaya gravitasi, tentunya akan sangat berbeda "dampaknya" antara anak yang disuguhkan buku teks berisi teori-teori mengenai gaya gravitasi, dengan anak yang disuguhkan buku biografi Isaac Newton dimana antara lain menceritakan bagaimana Isaac Newton melewati berbagai eksperimen sebelum akhirnya ia berhasil menemukan teori gaya gravitas:) :) :)
  3. Narasi. Dalam metode CM, pembelajaran terbaik bukanlah dengan menghafal atau dengan memberikan soal-soal berupa pilihan ganda ataupun essay, melainkan dengan meminta anak menarasikan apa yang baru ia baca. Jadi disini anak selalu diminta untuk menceritakan kembali "living book" yang baru ia baca. Dengan melakukan narasi, anak belajar mengumpulkan data, mengolahnya, mengklasifikasikannya, dan setiap elemen dalam otaknya akan bekerja untuk "mengeluarkan" kembali hasil pengolahan dan pengklasifikasian informasi tersebut. Ditambah, dengan melakukan narasi, kemampuan menulis maupun public speaking anak akan terus dilatih:)
  4. Jam belajar yang singkat. Metode ini sangat mementingkan latihan fokus dan konsentrasi bagi anak. Dalam mekanisme membaca living books saja, selalu ditekankan bahwa anak akan diminta untuk membuat narasi setelah ia membaca buku tersebut 1 kali. Bukan setelah 2 kali, ataupun 3 kali. Cukup 1 kali, dengan model slow reading.  Dengan latihan dan pembiasaan pemusatan konsentrasi anak seperti ini, jam belajar anak menjadi singkat. Untuk kelas 1 SD saja misalnya, anak cukup belajar dari jam 9.00 s/d jam 11.00. Dengan demikian, anak memiliki waktu luang yang banyak untuk mereka melakukan apa saja yang mereka minati, bermain di alam bebas, bergabung dengan berbagai komunitas ataupun klub olahraga, ikut kursus-kursus, ataupun menghabiskan waktu bersama keluarga.
Begitu luar biasanya metode ini sehingga tidak mungkin saya tuangkan dalam 1 artikel. Empat poin di atas barulah sebagian keciiiil saja dari penjabaran metode CM yang memandang pendidikan sebagai kehidupan, sebagai atmosfir, dan sebagai disiplin (education is a life, an atmosphere and a discipline).

Disadur bebas dari buku "Cinta Yang Berpikir" oleh Ellen Kristi dan dari amblesideonline.com.

Sumber Gambar: harmonyartmom.blogspot.com
     
     
     

Saturday 29 September 2012

Saya Bangga Pada Suami

Pertama kali saya menceritakan niat saya meng-homeschooling-kan anak-anak kepada suami, suami saya tidak langsung setuju. Malah, sempat beberapa kali, saya merasa agak sulit untuk meyakinkan suami bahwa homeschooling (HS) itu baik dan tepat bagi anak-anak kami. Saya masih ingat komentar-komentar yang keluar dari mulut suami, seperti: nanti bagaimana anak-anak bergaul; nanti siapa yang mengajarkan, memang kamu bisa Fisika, Kimia dll;) ; nanti kalau terjadi apa-apa sama kamu bagaimana; nanti bagaimana kalau mau lanjut ke sekolah formal; dll.

Perlahan namun pasti, saya kekeh meyakinkan dan menunjukkan ke suami bahwa ketika saya dan suami ingin memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak, HS adalah metode pendidikan terbaik yang dapat, kami sebagai orangtua, berikan bagi mereka. Hampir setiap minggu, jika tidak setiap hari, saya membagikan tulisan atau referensi apapun terkait HS kepada suami. Perlahan namun pasti, saya menunjukkan kepada suami bagaimana saya menemani anak-anak bermain, membacakan buku kepada mereka, membuat prakarya bersama mereka, dll.

Peristiwa di atas terjadi sejak sekitar 2 tahun yang lalu. Sekarang, suami saya berubah. Beliau tidak lagi "anti" HS. Beliau sudah memiliki cara pandang dan visi yang sama dengan saya. At least, hampir sama ;) Kamipun sehati sepikir bahwa dalam HS, ayah dan ibu (bukan hanya ibu) harus berkomitmen tinggi untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Kami percaya bahwa ayah adalah pihak yang paling bertanggungjawab dalam hal pendidikan anak-anaknya. Dan suami saya, Mas Widi panggilannya:) , tidak hanya sepaham dengan saya sekarang, Beliau juga mulai memperlihatkan "benih-benih" sebagai tutor, pengajar, pendidik anak-anak, dengan baik! Setiap hari sepulang kantor, setelah bersih-bersih, santai sebentar dan makan malam, Mas Widi akan bermain dengan anak-anak. Tidak hanya itu, seringkali Mas Widi mengajar Yosua membaca, berhitung, bahkan mengajar Bahasa Inggris! Tadi saja ketika Yosua meminta saya membuatkan mainan roket dan saya "melempar" tugas itu ke Mas Widi, saya cukup memberi Mas Widi sedikit petunjuk material apa yang diperlukan untuk membuatnya, Mas Widi-pun segera "bergerak" dan bimsalabim! Jadilah roket!;)

Dan kini, 1 tahun menjelang pelaksanaan full HS bagi Yosua, kami sedang asyik membaca buku Cinta Yang Berpikir oleh Ibu Ellen Kristi, dan Mas Widi-pun menikmatinya!

Dengan perkenanan Tuhan, saya yakin saya dan suami dapat menjadi tim yang tangguh, bersama pelaku HS dan para orangtua lainnya
yang berkomitmen untuk mencurahkan segenap akal budi dan tenaganya, demi memberikan yang terbaik bagi anak-anak kita...amin.

Thursday 27 September 2012

Pengumuman, Pengumuman: Kami Akan Homeschooling !

Ada yang menarik di acara ulangtahun anak sulung kami, Yosua. Ceritanya, ketika orangtua, mertua, dan saudara-saudara terdekat sudah ngumpul, kamipun melakukan acara persekutuan singkat. Nah, ketika tiba giliran saya  angkat bicara, sayapun “mengumumkan” secara “resmi” kepada mereka bahwa saya dan suami berencana untuk meng-homeschooling-kan kedua anak kami. Dan saya menjelaskan kelebihan-kelebihan homeschooling (HS) kepada mereka, antara lain:
  1. Ternyata HS tidak identik dengan “mengurung” anak di rumah, melainkan memiliki definisi, metode dan kurikulum yang amaaat banyak.
  2. Ternyata untuk menjalankan HS, orangtua tidak dituntut menjadi manusia super, guru yang paham segala ilmu pengetahuan, maupun harus dituntut mendampingi anak 24 jam sehari.
  3. Karena tanggungjawab sepenuhnya di tangan orangtua, konsekuensinya, orangtua “bebas” (baca: tidak ditentukan sekolah) menentukan pendekatan, metode, gaya belajar dan kurikulum pendidikan bagi anak-anaknya.
  4. Karena anak tidak lagi belajar di dalam kelas dengan belasan maupun puluhan anak lainnya, otomatis guru (dalam hal ini orangtua ataupun pendidik lainnya) bisa lebih fokus kepada minat, talenta, gaya belajar dan kemampuan anak tsb. Akibatnya lagi, tidak diperlukan jam belajar yang panjang sehingga anak memiliki waktu lebih banyak untuk mengikuti aneka kursus, bergabung ke berbagai komunitas maupun untuk lebih banyak menghabiskan waktu dengan orang rumah.
  5. Dan masiiiiih banyak lagi...   
Setelah saya menjelaskan hal-hal di atas, seperti biasa, muncul pertanyaan-pertanyaan yang memang masih termasuk dalam daftar “FAQ” dunia HS, ini di antaranya (termasuk jawaban dari saya):
  1.  Bagaimana dengan pergaulannya nanti kalau tidak pernah ketemu teman? Jawab: anak akan tetap bertemu banyak teman, bahkan juga akan bergaul dengan lintas umur (tidak hanya teman sebaya), yang mana hal ini menjadi keuntungan tersendiri. Mereka bisa mendapat pergaulan dengan teman sebaya dari tempat kursus, komunitas, tetangga, saudara. Mereka punya kesempatan lebih besar untuk bergaul dengan lintas usia, mulai dari pedagang bakso lewat, sampai ketika menjenguk saudara yang sakit misalnya.
  2. Bagaimana dengan pendidikan tingginya nanti kalau anak tidak punya ijazah? Jawab:  peraturan perundang-undangan kita sudah memayungi masalah ini dengan menyediakan ujian kesetaraan bagi siswa HS yang ingin melanjutkan ke sekolah formal. Ujian kesetaraan disini diperuntukkan khusus bagi siswa HS.
  3. Bagaimana jika terjadi peristiwa di luar dugaan, misalnya orangtua menderita penyakit sehingga tidak mungkin lagi menjadi pendamping/ fasilitator bagi anak? Jawab: prinsip dalam HS adalah anak bisa belajar dari siapa saja, apa saja. Tentu untuk membenarkan pernyataan ini, kita perlu menyamakan dulu definisi apa itu "pendidikan", apa itu "belajar". Tentu jika makna "pendidikan" disini semata-mata hanya bicara pendidikan intelektual dan cara belajar haruslah dengan mendengarkan guru, akan sulit apabila kemudian sang "guru" tiba-tiba tidak lagi bisa mengajar. Namun jika kita mengartikan pendidikan sebagai pendidikan karakter dan pendidikan intelektual yang berjalan beriringan, serta mengartikan belajar sebagai kegiatan yang dapat dilakukan dengan memakai sumber tidak hanya dari sosok guru,melainkan juga dari internet, buku, orang lain yg tidak berprofesi guru dll, "kehilangan" 1 orang guru tidak akan menjadi masalah disini.
  4. Bagaimana dengan kurikulumnya? Dapat darimana? Jawab: saat ini, terdapat metode maupun kurikulum HS yang sangaaat banyak, baik dari dalam maupun luar negri. Orangtua tinggal memilih yang paling cocok dengan kebutuhan keluarga.
  5. Bagaimana dengan orangtua yang bekerja? Apakah sempat mengajar anak-anaknya seperti ini? Jawab: Yes, memang ini tidak mudah. Dibutuhkan pemikiran dan pertimbangan yang matang sebelum sebuah keluarga memutuskan untuk meng-HS-kan anak-anak mereka. Namun di sisi lain, hal ini bukan berarti lantas orangtua harus menunggu sampai menjadi manusia super dulu baru berhak menjalankan HS. Apakah HS itu sesuatu yang memberatkan orangtua? Apakah HS itu tidak layak dilaksanakan? Apakah HS terlalu menuntut banyak pengorbanan? Semua jawaban atas pertanyaan ini ada di diri orangtua sendiri. Jika orangtua ingin bertanggungjawab penuh atas pendidikan anak-anak mereka, bukan menyerahkan begitu saja pada lembaga bernama sekolah, dan orangtua ingin berjuang dengan segenap tenaga, waktu dan akal budinya untuk menghasilkan anak-anak yang memiliki karakter dan intelektual yang mumpuni sehingga kelak dapat berguna bagi Tuhan, alam dan sesamanya, maka akan jauh lebih mudah bagi orangtua untuk mau berpikir, menyusun ulang prioritas hidupnya,  dan mengatur waktu sebaik mungkin antara mencari nafkah dan mendidik anak-anaknya.
Artikel ini tidak akan menjawab semua pertanyaan mengenai mengapa keluarga kami memilih HS yang rencananya akan secara full kami laksanakan tahun depan ketika Yosua hendak masuk ke bangku SD, namun paling tidak, artikel ini mudah-mudahan dapat sedikit memberi pencerahan kepada kita semua mengenai alasan mengapa kami memilih homeschooling.

Sumber Gambar: susanevans.org

Tuesday 25 September 2012

MENGAJAR ANAK BERDOA

Kami percaya bahwa pendidikan tidak melulu mengajarkan nalar. Pendidikan juga bicara pendidikan karakter. Salah satunya yang kami percaya perlu kami latih sejak dini adalah belajar berdoa: berkomunikasi dengan Sang Pencipta, Sang Pemilik Hidup.

Tentu kami sebagai orangtua memiliki banyak kekurangan. Kami sendiripun masih harus meningkatkan kehidupan doa kami dari hari ke hari. Bersamaan dengan pendidikan diri kami sendiri, kami mencoba melatih anak-anak kami untuk mengenal, belajar mengakrabkan diri, dan akhirnya mengasihi Tuhannya, antara lain dengan berdoa, berkomunikasi.

Berhubung si sulung baru berusia 5 tahun, kami tidak ingin memperkenalkan "doa" sebagai rutinitas yang membosankan, monoton, dan sekedar "formalitas". Sebagaimana anak berbicara dengan orangtuanya, seumpama seseorang bercerita ke sahabat karibnya, demikianlah kami menganalogikan bagaimana kita berkomunikasi dengan Tuhan: akrab, bebas bercerita maupun meminta apa saja, dan tidak formal. Intinya disini, kami ingin anak merasa "nyaman" berkomunikasi dengan Tuhan.

Biasanya kami memiliki jam doa sekeluarga pada pagi, siang (kadang iya, kadang tidak), dan malam sebelum tidur. Biasanya, kalau tidak suami saya yang memimpin doa kami sekeluarga, atau jika suami saya tidak ada, saya yang akan memimpin doa yang kemudian ditiru oleh anak sulung kami, Yosua, sebagian demi sebagian. Di kesempatan yang lain, misalnya saat hendak menyantap makan siang atau malam, saya memintanya untuk memimpin doa sendiri. Namun siang ini ada kejadian yang bagi saya pribadi adalah suatu "milestone", sekecil apapun peristiwa itu. Begini ceritanya. Tadi siang sebelum tidur, saya, Yosua dan Ester, adiknya, hendak berdoa bersama. Sebelum saya berinisiatif untuk memimpin doa, Yosua berinisiatif duluan! Wowww! "That's something !", pikir saya. Yang membuat inisiatifnya kali ini adalah "wow" bagi saya adalah karena ia meminta saya untuk meniru doanya sebagian demi sebagian, seperti yang biasa gurunya di sekolah maupun yang biasa saya lakukan. Dan sayapun segera mengiyakannya.

Antara lain, seingat saya, begini doanya,  yang kemudian ditiru oleh saya sebagian demi sebagian seperti yang Yosua minta untuk saya lakukan (saya penganut Kristen): "Tuhan Yesus...Yosua mau tidur...tadi Yosua sekolah..trus makan sayur..trus main mobil..trus main sepeda..amin."

Mudah-mudahan artikel singkat ini boleh menjadi inspirasi bagi kita semua untuk terus melatih diri sendiri dan tentunya melatih anak-anak kita untuk terus meningkatkan jam doa, mulai dari usia dini:) :) :)


Sumber Gambar : urlesque.com

Monday 13 August 2012

Cara Mengajar Anak-Anak (Bagian Terakhir)

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam membuat alur cerita adalah:
  • Tujuan cerita harus jelas dan tidak terlalu banyak.
    • Sebagai contoh, dari kisah Daud & Goliat, kita dapat memperoleh banyak pelajaran yang dapat kita sampaikan ke anak-anak, misalnya agar anak-anak kita menjadi pemberani, selalu mengandalkan Tuhan dan lain-lain. Dari sekian banyak tujuan kita menceritakan kisah di atas, ambil 1 atau 2 saja untuk kita jadikan tujuan kita bercerita. Sama seperti apabila kita disuguhkan 20 makanan favorit kita, mungkin piring pertama s/d piring ke-5 kita masih dapat memakannya dengan lahap, namun masuk piring ke-6 dan seterusnya, tentu tidak akan lagi nikmat rasanya dan kita akan memuntahkannya. Demikian pula tujuan bercerita. Apabila dalam bercerita, tujuan yang hendak kita capai dalam diri anak-anak kita terlampau banyak, maka tidak satupun akan "nyantol" ke diri anak-anak kita.
    • Dalam sesi bercerita, tujuan cerita perlu diulang baik itu di awal cerita, di bagian tengah, dan terutama di bagian penutup. Dengan cara seperti ini, anak-anak akan lebih mendapatkan penekanan akan apa yang diharapkan dari mereka setelah mendengarkan cerita ini.
  • Pembukaan dan penutupan cerita harus dibuat semenarik mungkin.
    • Pembukaan dan penutupan cerita yang "hambar" akan membuat cerita secara keseluruhan menjadi tidak menarik.
    • Contoh-contoh pembukaan yang kurang menarik:
      • "Halo adik-adiiiik! Masih ingat cerita Kakak minggu yang lalu?" Kalimat bergaris bawah di atas umumnya akan membuat anak-anak "khawatir" akan ditanya sesuatu yang mereka sudah lupa. Dengan kekhawatiran ini, anak-anak menjadi kurang tertarik mendengarkan kita.
      • Dari awal sudah jadi guru "preman" alias marah-maraaah saja bawaannya:(
      • Menyebutkan nama-nama tokoh Alkitab yang akan diceritakan kisahnya. Tidak jarang anak-anak sudah hafal dengan cerita-cerita populer dalam Alkitab. Contoh: kisah Adam dan Hawa. Apabila dari awal kita sudah menyebutkan nama kedua tokoh ini, bisa jadi anak-anak akan mengatakan bahwa mereka sudah tahu cerita ini dan tentunya hal ini membuat mereka kurang tertarik untuk mendengarkan kita. Sebagai gantinya, di awal kita bisa memberikan ilustrasi yang mirip dengan kisah Adam dan Hawa sambil menyebutkan tujuan yang hendak dicapai dalam cerita tersebut, baru menyebutkan nama kedua tokoh di atas . Contoh: "Adik, adik, siapa disini yang pernah dibujuk sama teman untuk memberikan contekan?! Atau siapa yang pernah dibujuk sama teman untuk merokok?! Waaaah, adik-adik nurut nggak sama teman adik-adik waktu itu?"
  • Hal-hal yang perlu diperhatikan di tengah-tengah ketika bercerita:
    • Perhatikan kebiasaan-kebiasaan buruk kita yang mungkin terjadi, misalnya: memilin rambut, membenahi kacamata yang turun, agar jangan sampai mengganggu konsentrasi guru maupun murid.
    • Perhatikan agar pandangan kita tidak hanya ke satu sisi saja, melainkan memandang ke seluruh murid yang ada.
    • Gerak tubuh harus disesuaikan dengan cerita.
    • Intonasi suara harus disesuaikan dengan cerita. Hindari intonasi suara yang "datar".
    • Ekspresi wajah harus disesuaikan dengan cerita.
    • Gunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh anak-anak, namun hindari menggunakan bahasa "cadel" meskipun mengajar balita.
    • Menggunakan alat peraga sangatlah penting untuk meningkatkan daya tangkap anak-anak terhadap isi cerita.
  • Tindak lanjut.
    • Ketika kita bercerita dengan tujuan untuk pertumbuhan rohani maupun moral anak-anak, hal yang sangat penting untuk dilakukan adalah menindaklanjuti pengajaran tersebut.
    • Tindak lanjut disini bertujuan untuk memastikan anak-anak kita mempraktekkan apa-apa yang telah mereka pelajari dari cerita yang kita sampaikan.
    • Tindak lanjut disini dapat dilakukan melalui obrolan melalui telepon, kunjungan ke rumah murid, atau melalui buku penghubung guru dan orangtua murid. Diharapkan dengan komunikasi semacam ini, penanaman pelajaran yang telah dilakukan guru dapat berbuah secara nyata dalam diri anak-anak.
Tips-tips ini saya dapat dalam konteks mengajar kelas Sekolah Minggu di Gereja, tentu tidak akan cocok untuk semua jenis pengajaran anak. Namun paling tidak, mudah-mudahan secara garis besar, dapat memberikan manfaat untuk kita semua tidak hanya bagi pengajar Sekolah Minggu:)

Sumber Gambar: Stuffapostolicslike.blogspot.com