Saat membantu anak mengerjakan PR, biasanya anak akan
menghadapi pertanyaan-pertanyaan berbentuk esai terkait dengan topic yang baru
ia pelajari, atau pertanyaan berbentuk pilihan berganda, atau juga anak disuruh
mengisi titik-titik.
Atau bagi kita yang berprofesi sebagai guru, tidak asing lagi
bagi kita untuk selalu mempersiapkan banyak hal sebelum kita mengajar kelas,
baik itu kelas besar maupun kelas kecil. Mulai dari mempersiapkan alat peraga,
bahan/ materi pelajaran yang disajikan semenarik mungkin, sampai mempersiapkan
pertanyaan-pertanyaan untuk kita ajukan pada murid.
Namun saat saya berkenalan dengan tulisan sosok pendidik
legendaris Inggris, Charlotte Mason (CM), untuk pertama kalinya saya berkenalan
dengan istilah “self-education”, atau “mendidik atau mengajar diri sendiri”.
Menurut CM, saat anak manusia lahir, ia telah memiliki otak yang
sempurna. Pengertian otak yang sempurna disini adalah bahwa otak tersebut telah
sempurna untuk menelaah atau mencerna apa yang perlu ditelaah/dicernanya. Sama
seperti saat lahir, seorang bayi telah memiliki organ pencernaan yang “sempurna”
untuk mencerna ASI dan saat bayi berumur 6 bulan maka organ pencernaan bayi
telah “sempurna” untuk mencerna makanan pendamping ASI, maka demikianlah dengan
otaknya. Otaknya telah sempurna adanya.
Bedanya adalah, organ pencernaan berfungsi untuk mencerna makanan bagi
fisik manusia, mulai dari karbohidrat, lemak dan lain-lain, sedangkan otak
berfungsi untuk “mencerna” makanan bagi jiwa manusia. Ups, makanan bagi jiwa?
Sebagaimana tubuh/ fisik manusia membutuhkan makanan,
demikian pula dengan jiwa manusia. Jiwa manusia membutuhkan “makanan”. Dan menurut
CM, “makanan” bagi jiwa manusia adalah ide-ide atau gagasan-gagasan. Baik itu
intelektual maupun karakter manusia, terbentuk dari ide-ide yang masuk ke dalam
otak maupun jiwanya. Eksperimen science, keindahan alam, studi alam, gerakan
ritmis, pelatihan sensorik, penemuan-penemuan, cerita-cerita yang didengar,
cerita-cerita tradisi keluarga, filosofi, semua ini akan melahirkan ide-ide di
benak manusia. Dan kesemua hal di atas dapat tercakup di dalam benda yang
bernama buku. Itu sebabnya mengapa tidak ada hal lain yang dapat menyediakan
ide secara berlimpah kepada manusia selain buku, termasuk e-book (kalau jaman sekarang hehehe…). Ide-ide terhebat dan
terluhur dari orang-orang terhebat dan terluhur di dunia ini dapat kita akses
melalui buku. Hanya dengan menyajikan
buku-buku terbaik bagi anak-anak kita (termasuk bagi diri kita sendiri), maka
jiwa kita, juga intelektual kita, akan “dikenyangkan”.
Saat kita sebagai guru maupun orangtua, mampu menyajikan anak
buku-buku terbaik bagi anak-anak, maka dengan sendirinya, otak anak akan
mencernanya sesuai dengan kapasitasnya yang luar biasa, dan jiwa dan
intelektual anak akan mendapatkan ide-ide yang dibutuhkannya untuk “mengenyangkannya”.
Jadi disini tugas orangtua dan guru hanyalah menyajikan buku-buku tersebut
secara teratur.
Anak-anak kita memiliki otak dan pikiran yang luar biasa.
Sesungguhnya saat kita menyajikan mereka buku-buku yang terbaik, maka kita
sebagai guru maupun orangtua tidak perlu lagi memberi mereka
pertanyaan-pertanyaan untuk menguji pemahaman mereka baik itu dalam bentuk
esai, pilihan berganda maupun mengisi titik-titik. Karena sesungguhnya hal ini
sama dengan kita hendak menguji apakah otak anak telah berfungsi
sebagaimestinya. Ibaratnya, apakah kita sebagai orangtua perlu memastikan apakah
organ pencernaan anak telah berfungsi dengan baik? Tentu tidak. Tugas kita
hanyalah memberikan anak makanan yang sehat, bukan malah makanan instan
misalnya.
Dan saat kita menyajikan mereka buku-buku yang terbaik, maka
anak-anak otomatis akan memberikan perhatian, menunjukkan minat, mau
berkonsentrasi, tanpa guru atau orangtua harus bersusah payah menuntut anak
untuk menyukai buku pelajaran/ buku bacaan mereka. Dan juga dengan cara belajar
seperti ini, anak-anak akan mampu mengekspresikan diri mereka dengan bahasa
yang baik dan kosakata yang kaya. Anak-anak juga cenderung menjadi lebih
tenang/ stabil dan karakter merekapun akan terdidik. Dan yang tak kalah
ajaibnya, anak-anak juga akan mencintai buku mereka (tidak hanya buku cerita!),
dan mereka akan suka belajar! Dan saat mereka mencapai tahap ini, tak perlu
lagi guru ataupun orangtua menstimulasi keinginan belajar mereka dengan hadiah,
nilai dan lain-lain!
Dengan cara seperti ini, anak-anak tidak akan terlalu
bergantung pada keberadaan sosok guru yang harus bersusah payah menyediakan alat
peraga, materi dengan tampilan yang menarik dan lain-lain. Anak-anak akan mampu
“mendidik” diri mereka sendiri melalui buku-buku terbaik yang disajikan bagi
mereka. Melalui cara seperti ini, kita sebenarnya sedang membimbing anak-anak
kita agar mereka memiliki motto hidup, “I am, I can, I ought, I will” (“Aku
sebagaimana aku, aku bisa, aku wajib, aku akan”). Dengan moto seperti ini,
mereka belajar menjadi anak-anak yang mengetahui nilai diri mereka, dan
memahami kapasitas, kewajiban serta memiliki kehendak yang kuat untuk melakukan
kewajiban mereka. Hal ini berkebalikan dengan hanya melakukan apa yang mereka
sukai.
Esensi pendidikan
menurut CM adalah bagaimana menarik perhatian anak didik, membangun minatnya,
membangun gayanya dalam bertutur kata dengan kosakata yang kaya, membangun rasa
cinta pada buku dan meningkatkan kemampuannya berbicara. Dan pendidikan menurut
CM sama sekali tidak cukup apabila hanya menyentuh intelektual seseorang namun
tidak menyentuh jiwanya! Seorang anak yang membaca buku pelajarannya hanya demi
mendapatkan nilai bagus mungkin mampu
menghafal begitu banyak fakta, namun ia tidak akan benar-benar
paham. Bukankah tujuan pendidikan adalah bukan semata-mata untuk intelektual,
melainkan juga untuk membentuk anak-anak menjadi manusia-manusia yang memiliki
kemampuan, anak-anak yang berbakti, paham akan kewajiban mereka serta mampu
berpikir secara obyektif serta terus mau belajar? Dan saat sebagai guru dan
orangtua menyajikan mereka buku-buku terbaik secara berlimpah, maka kita dengan
leluasa akan menjadi mentor, pembimbing dan teman mereka, tanpa harus menjejel
mereka dengan fakta-fakta berjubel secara dipaksakan. Disinilah maksud dari
anak-anak kita mampu “mendidik/ mengajar” diri sendiri, atau “self-education”
melalui buku-buku terbaik yang disajikan bagi mereka.
Sumber : Disunting bebas dari buku The Original Home Schooling Series by Charlotte Masson Volume 6 Book 1 Chapter 1.