horizontal banner

Friday 27 July 2018

Tujuan Pendidikan Anak: Sekedar Untuk Mencari Pekerjaan?

Buat apa anak-anak kita belajar? Buat apa anak-anak kita sekolah? Buat apa mereka menuntut ilmu? Apakah sekedar untuk mendapatkan nilai, atau demi mendapatkan ilmu itu sendiri? Apakah sekedar untuk mendapatkan pekerjaan yang merupakan bagian dari hidup, atau untuk kelak menghidupi hidup itu sendiri? Apakah sekedar untuk kelak bisa mencari uang, atau lebih dari itu? 

Menurut Charlotte Mason,  seorang filsuf pendidikan dari Inggris, tujuan pendidikan seharusnya adalah bukan hanya untuk mencetak manusia-manusia yang bisa bermata pencaharian, melainkan mencetak manusia-manusia yang berkarakter luhur. Bukan hanya untuk menghasilkan manusia-manusia yang dapat bermanfaat bagi dirinya, melainkan juga bermanfaat bagi orang lain dan lingkungannya. Bukan hanya ujung-ujungnya demi uang, melainkan demi sesuatu yang jauh lebih besar dari itu.

Jika kita melihat proses pendidikan di sekolah pada umumnya, kita dapat melihat satu proses pendidikan dimana bukan murid yang banyak melakukan proses belajar, melainkan guru! Guru memegang peran yang sangat dominan dalam proses berpikir, dalam proses belajar. Sementara murid tidak perlu lagi banyak berpkir. Dalam tulisannya di Homeschooling Series Volume 6 bab 7, Charlotte Mason mengambil contoh proses belajar menggunakan metode unit studies. Dalam hal ini, saat mempersiapkan materi ajar, guru bekerja begitu keras,berpikir begitu keras dalam menyusun materi ajar berkenaan dengan satu tema, misalnya tema Robinson Crusoe. Materi-materi pelajaran seperti sastra/ bahasa, seni rupa, bahkan geografi dan sejarah akan disusun seputaran tema ini.  Untuk mata pelajaran bahasa, contoh topik yang diangkat adalah "Robinson mendaki bukit dan menemukan bahwa ia berada di sebuah pulau". Untuk pelajaran menggambar, mungkin anak diminta menggambar kapal, dayung, jangkar dan lain-lain. Dan untuk pelajaran menulis kreatif, contohnya para murid diminta menuliskan beberapa kalimat, dan kemudian guru akan menggabungkan kalimat-kalimat tersebut di papan tulis, dan para murid diminta untuk menyalin hasil penggabungan tersebut. Bahkan matematikapun juga menggunakan tema yang sama. Demikian pula dengan pelajaran menyanyi dan membaca lantang.

Namun sadarkah kita bahwa dari proses pembelajaran di atas, sesungguhnya gurulah yang belajar jauh lebih banyak ketimbang murid? Saat mempersiapkan materi di atas dengan cara membaca materi mengenai Robinson Crusoe lalu "meramunya" menjadi materi di atas, guru bagaikan seorang entertainer yang sedang mempersiapkan "pertunjukan"nya dan murid-muridnya adalah "penonton"nya. Saat "pertunjukan" berlangsung, murid-muridnya nampaknya begitu "menikmati pertunjukan". Namun sesungguhnya yang terjadi adalah, potensi pada otak masing-masing anak tidaklah digunakan sebagaimana mestinya. Proses pembelajaran ini sesungguhnya justru "mengkerdilkan" potensi otak anak-anak. Secara fitrahnya, anak-anak kita memiliki pikiran yang luar biasa. Potensi otak dalam diri mereka sangat besar. Potensi pikiran sebesar ini sesungguhnya siap menampung ilmu yang amat beragam dan tingkatan sastra yang tinggi. Ketimbang guru berpikir keras untuk "meramu" buku Robinson Crusoe versi orinisil agar "disesuaikan" dengan anak, seharusnya guru cukup menyajikan buku Robinson Crusoe yang adalah buku pegangan guru itu sendiri, buku orisinilnya (bukan bacaan hasil "ramuan" sang guru), untuk kemudian anak membaca dan menelaahnya sendiri dan membuat komposisi dari apa yang ia baca. Saat proses membaca, menelaah dan membuat komposisi dari buku orisinil inilah proses pembelajaran anak terjadi. Pikiran anakpun akan bertumbuh sesuai dengan potensinya. Tidak terjadi "pengkerdilan" potensi anak dalam proses pembelajaran seperti ini. Justru pikiran anak-anak akan bertumbuh optimal. Ibarat tubuh fisik anak, kita perlu memberikan nutrisi yang tepat. Meskipun anak-anak begitu menyukai permen, bukan berarti permen baik untuk pertumbuhan fisik mereka. Demikian halnya dengan intelektualitas, perkembangan jiwa maupun spiritual. Pertumbuhan secara optimal hanya akan terjadi jika kita memberikan "nutrisi" yang tepat, dalam hal ini bacaan-bacaan yang berkwalitas. Bacaan berkwalitas yang dimaksud disini adalah yang memiliki tingkat literasi yang tinggi. Saat kita menyajikan anak-anak dengan bacaan berkwalitas semacam ini, secara otomatis pikiran mereka akan memilah, mengatur, menolak maupun mengelompokkan ide-ide yang mereka terima. Dan proses ini tidak akan terjadi apabila guru mengambil seluruh peran proses berpikir ini dan hanya menjadikan anak-anak sebagai "penonton". 

Sekali lagi, menurut Charlotte Mason, kita tidak bisa meremehkan kemampuan berpikir anak. Jika guru mengambil semua peran dalam proses berpikir tersebut (saat guru bekerja keras mengumpulkan dan "meramu" materi ajar), anak tidak lagi kebagian tantangan dalam proses berpikir tersebut.  Anak-anak sangat perlu dilatih untuk membaca dan menelaah bukunya sendiri karena disinilah proses berpikir dengan penuh konsentrasi terjadi. Dan sekali lagi, yang menjadi tujuan pendidikan disini bukanlah sekedar untuk meningkatkan kemampuan teknis, melainkan meningkatkan kemampuan berpikir dan berpendapat secara mandiri, memelihara rasa ingin tahu dan kemampuan berimajinasi anak. Penting bagi sekolah untuk mengajar anak-anak kemampuan teknis untuk menjadi dokter atau pengacara. Namun yang jauh lebih penting adalah mengajar mereka untuk bekerja secara sistematis dan berpikir secara mandiri. Kemampuan inilah yang akan mempersiapkan mereka untuk kelak menjalankan profesi ataupun jalan hidup apa saja.

Sambil mengutip perkataan Alexander Paterson, Charlotte berkata bahwa yang terpenting dalam proses pendidikan adalah bukan mengajar anak kemampuan teknis kedokteran ataupun ilmu keuangan, melainkan kemampuannya berimajinasi, kemampuannya memilah dan menilai, serta perkenalkanlah anak dengan beragam minat, maka anak akan siap untuk menggeluti profesi apapun. Dan pada saat yang bersamaan, anak akan menjadikan dirinya berguna bagi orang lain, dan ia akan menemukan kenikmatan dalam kemampuannya melakukan observasi terhadap alam sekitar. Anak juga akan mampu memanfaatkan waktu luangnya dengan kegiatan-kegiatan yang menarik, di samping ia akan menjadi tetangga dan anggota masyarakat yang baik. Jadi tujuan akhirnya disini adalah, tidak hanya anak kelak mampu menghidupi dirinya sendiri, melainkan juga mampu benar-benar menghidupi hari-harinya.

Sebagai kesimpulan, menurut Charlotte, sama seperti yang dikatakan Isa Almasih, bahwa seseorang tidak hidup dari roti saja, melainkan dari setiap perkataan yang keluar dari mulut Allah. Artinya, manusia hidup bukan hanya untuk bekerja agar bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Spiritualitas manusiapun harus bertumbuh. Itulah hidup yang sesungguhnya.  Makanan spiritual yang dibutuhkan manusia adalah kebenaran yang dibungkus dalam bentuk mata pelajaran agama, puisi, seni, penemuan-penemuan ilmu alam dan juga sastra. Pendidikan yang berlandaskan kemanusiaan seperti inilah yang menjadi dasar yang kuat untuk membangun manusia, baik kelak ia akan berprofesi sebagai pengusaha maupun petani.

Disadur bebas dari: Charlotte Mason Homeschooling Series Vol. 6 Chapter 7.