horizontal banner

Saturday 29 September 2012

Saya Bangga Pada Suami

Pertama kali saya menceritakan niat saya meng-homeschooling-kan anak-anak kepada suami, suami saya tidak langsung setuju. Malah, sempat beberapa kali, saya merasa agak sulit untuk meyakinkan suami bahwa homeschooling (HS) itu baik dan tepat bagi anak-anak kami. Saya masih ingat komentar-komentar yang keluar dari mulut suami, seperti: nanti bagaimana anak-anak bergaul; nanti siapa yang mengajarkan, memang kamu bisa Fisika, Kimia dll;) ; nanti kalau terjadi apa-apa sama kamu bagaimana; nanti bagaimana kalau mau lanjut ke sekolah formal; dll.

Perlahan namun pasti, saya kekeh meyakinkan dan menunjukkan ke suami bahwa ketika saya dan suami ingin memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak, HS adalah metode pendidikan terbaik yang dapat, kami sebagai orangtua, berikan bagi mereka. Hampir setiap minggu, jika tidak setiap hari, saya membagikan tulisan atau referensi apapun terkait HS kepada suami. Perlahan namun pasti, saya menunjukkan kepada suami bagaimana saya menemani anak-anak bermain, membacakan buku kepada mereka, membuat prakarya bersama mereka, dll.

Peristiwa di atas terjadi sejak sekitar 2 tahun yang lalu. Sekarang, suami saya berubah. Beliau tidak lagi "anti" HS. Beliau sudah memiliki cara pandang dan visi yang sama dengan saya. At least, hampir sama ;) Kamipun sehati sepikir bahwa dalam HS, ayah dan ibu (bukan hanya ibu) harus berkomitmen tinggi untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Kami percaya bahwa ayah adalah pihak yang paling bertanggungjawab dalam hal pendidikan anak-anaknya. Dan suami saya, Mas Widi panggilannya:) , tidak hanya sepaham dengan saya sekarang, Beliau juga mulai memperlihatkan "benih-benih" sebagai tutor, pengajar, pendidik anak-anak, dengan baik! Setiap hari sepulang kantor, setelah bersih-bersih, santai sebentar dan makan malam, Mas Widi akan bermain dengan anak-anak. Tidak hanya itu, seringkali Mas Widi mengajar Yosua membaca, berhitung, bahkan mengajar Bahasa Inggris! Tadi saja ketika Yosua meminta saya membuatkan mainan roket dan saya "melempar" tugas itu ke Mas Widi, saya cukup memberi Mas Widi sedikit petunjuk material apa yang diperlukan untuk membuatnya, Mas Widi-pun segera "bergerak" dan bimsalabim! Jadilah roket!;)

Dan kini, 1 tahun menjelang pelaksanaan full HS bagi Yosua, kami sedang asyik membaca buku Cinta Yang Berpikir oleh Ibu Ellen Kristi, dan Mas Widi-pun menikmatinya!

Dengan perkenanan Tuhan, saya yakin saya dan suami dapat menjadi tim yang tangguh, bersama pelaku HS dan para orangtua lainnya
yang berkomitmen untuk mencurahkan segenap akal budi dan tenaganya, demi memberikan yang terbaik bagi anak-anak kita...amin.

Thursday 27 September 2012

Pengumuman, Pengumuman: Kami Akan Homeschooling !

Ada yang menarik di acara ulangtahun anak sulung kami, Yosua. Ceritanya, ketika orangtua, mertua, dan saudara-saudara terdekat sudah ngumpul, kamipun melakukan acara persekutuan singkat. Nah, ketika tiba giliran saya  angkat bicara, sayapun “mengumumkan” secara “resmi” kepada mereka bahwa saya dan suami berencana untuk meng-homeschooling-kan kedua anak kami. Dan saya menjelaskan kelebihan-kelebihan homeschooling (HS) kepada mereka, antara lain:
  1. Ternyata HS tidak identik dengan “mengurung” anak di rumah, melainkan memiliki definisi, metode dan kurikulum yang amaaat banyak.
  2. Ternyata untuk menjalankan HS, orangtua tidak dituntut menjadi manusia super, guru yang paham segala ilmu pengetahuan, maupun harus dituntut mendampingi anak 24 jam sehari.
  3. Karena tanggungjawab sepenuhnya di tangan orangtua, konsekuensinya, orangtua “bebas” (baca: tidak ditentukan sekolah) menentukan pendekatan, metode, gaya belajar dan kurikulum pendidikan bagi anak-anaknya.
  4. Karena anak tidak lagi belajar di dalam kelas dengan belasan maupun puluhan anak lainnya, otomatis guru (dalam hal ini orangtua ataupun pendidik lainnya) bisa lebih fokus kepada minat, talenta, gaya belajar dan kemampuan anak tsb. Akibatnya lagi, tidak diperlukan jam belajar yang panjang sehingga anak memiliki waktu lebih banyak untuk mengikuti aneka kursus, bergabung ke berbagai komunitas maupun untuk lebih banyak menghabiskan waktu dengan orang rumah.
  5. Dan masiiiiih banyak lagi...   
Setelah saya menjelaskan hal-hal di atas, seperti biasa, muncul pertanyaan-pertanyaan yang memang masih termasuk dalam daftar “FAQ” dunia HS, ini di antaranya (termasuk jawaban dari saya):
  1.  Bagaimana dengan pergaulannya nanti kalau tidak pernah ketemu teman? Jawab: anak akan tetap bertemu banyak teman, bahkan juga akan bergaul dengan lintas umur (tidak hanya teman sebaya), yang mana hal ini menjadi keuntungan tersendiri. Mereka bisa mendapat pergaulan dengan teman sebaya dari tempat kursus, komunitas, tetangga, saudara. Mereka punya kesempatan lebih besar untuk bergaul dengan lintas usia, mulai dari pedagang bakso lewat, sampai ketika menjenguk saudara yang sakit misalnya.
  2. Bagaimana dengan pendidikan tingginya nanti kalau anak tidak punya ijazah? Jawab:  peraturan perundang-undangan kita sudah memayungi masalah ini dengan menyediakan ujian kesetaraan bagi siswa HS yang ingin melanjutkan ke sekolah formal. Ujian kesetaraan disini diperuntukkan khusus bagi siswa HS.
  3. Bagaimana jika terjadi peristiwa di luar dugaan, misalnya orangtua menderita penyakit sehingga tidak mungkin lagi menjadi pendamping/ fasilitator bagi anak? Jawab: prinsip dalam HS adalah anak bisa belajar dari siapa saja, apa saja. Tentu untuk membenarkan pernyataan ini, kita perlu menyamakan dulu definisi apa itu "pendidikan", apa itu "belajar". Tentu jika makna "pendidikan" disini semata-mata hanya bicara pendidikan intelektual dan cara belajar haruslah dengan mendengarkan guru, akan sulit apabila kemudian sang "guru" tiba-tiba tidak lagi bisa mengajar. Namun jika kita mengartikan pendidikan sebagai pendidikan karakter dan pendidikan intelektual yang berjalan beriringan, serta mengartikan belajar sebagai kegiatan yang dapat dilakukan dengan memakai sumber tidak hanya dari sosok guru,melainkan juga dari internet, buku, orang lain yg tidak berprofesi guru dll, "kehilangan" 1 orang guru tidak akan menjadi masalah disini.
  4. Bagaimana dengan kurikulumnya? Dapat darimana? Jawab: saat ini, terdapat metode maupun kurikulum HS yang sangaaat banyak, baik dari dalam maupun luar negri. Orangtua tinggal memilih yang paling cocok dengan kebutuhan keluarga.
  5. Bagaimana dengan orangtua yang bekerja? Apakah sempat mengajar anak-anaknya seperti ini? Jawab: Yes, memang ini tidak mudah. Dibutuhkan pemikiran dan pertimbangan yang matang sebelum sebuah keluarga memutuskan untuk meng-HS-kan anak-anak mereka. Namun di sisi lain, hal ini bukan berarti lantas orangtua harus menunggu sampai menjadi manusia super dulu baru berhak menjalankan HS. Apakah HS itu sesuatu yang memberatkan orangtua? Apakah HS itu tidak layak dilaksanakan? Apakah HS terlalu menuntut banyak pengorbanan? Semua jawaban atas pertanyaan ini ada di diri orangtua sendiri. Jika orangtua ingin bertanggungjawab penuh atas pendidikan anak-anak mereka, bukan menyerahkan begitu saja pada lembaga bernama sekolah, dan orangtua ingin berjuang dengan segenap tenaga, waktu dan akal budinya untuk menghasilkan anak-anak yang memiliki karakter dan intelektual yang mumpuni sehingga kelak dapat berguna bagi Tuhan, alam dan sesamanya, maka akan jauh lebih mudah bagi orangtua untuk mau berpikir, menyusun ulang prioritas hidupnya,  dan mengatur waktu sebaik mungkin antara mencari nafkah dan mendidik anak-anaknya.
Artikel ini tidak akan menjawab semua pertanyaan mengenai mengapa keluarga kami memilih HS yang rencananya akan secara full kami laksanakan tahun depan ketika Yosua hendak masuk ke bangku SD, namun paling tidak, artikel ini mudah-mudahan dapat sedikit memberi pencerahan kepada kita semua mengenai alasan mengapa kami memilih homeschooling.

Sumber Gambar: susanevans.org

Tuesday 25 September 2012

MENGAJAR ANAK BERDOA

Kami percaya bahwa pendidikan tidak melulu mengajarkan nalar. Pendidikan juga bicara pendidikan karakter. Salah satunya yang kami percaya perlu kami latih sejak dini adalah belajar berdoa: berkomunikasi dengan Sang Pencipta, Sang Pemilik Hidup.

Tentu kami sebagai orangtua memiliki banyak kekurangan. Kami sendiripun masih harus meningkatkan kehidupan doa kami dari hari ke hari. Bersamaan dengan pendidikan diri kami sendiri, kami mencoba melatih anak-anak kami untuk mengenal, belajar mengakrabkan diri, dan akhirnya mengasihi Tuhannya, antara lain dengan berdoa, berkomunikasi.

Berhubung si sulung baru berusia 5 tahun, kami tidak ingin memperkenalkan "doa" sebagai rutinitas yang membosankan, monoton, dan sekedar "formalitas". Sebagaimana anak berbicara dengan orangtuanya, seumpama seseorang bercerita ke sahabat karibnya, demikianlah kami menganalogikan bagaimana kita berkomunikasi dengan Tuhan: akrab, bebas bercerita maupun meminta apa saja, dan tidak formal. Intinya disini, kami ingin anak merasa "nyaman" berkomunikasi dengan Tuhan.

Biasanya kami memiliki jam doa sekeluarga pada pagi, siang (kadang iya, kadang tidak), dan malam sebelum tidur. Biasanya, kalau tidak suami saya yang memimpin doa kami sekeluarga, atau jika suami saya tidak ada, saya yang akan memimpin doa yang kemudian ditiru oleh anak sulung kami, Yosua, sebagian demi sebagian. Di kesempatan yang lain, misalnya saat hendak menyantap makan siang atau malam, saya memintanya untuk memimpin doa sendiri. Namun siang ini ada kejadian yang bagi saya pribadi adalah suatu "milestone", sekecil apapun peristiwa itu. Begini ceritanya. Tadi siang sebelum tidur, saya, Yosua dan Ester, adiknya, hendak berdoa bersama. Sebelum saya berinisiatif untuk memimpin doa, Yosua berinisiatif duluan! Wowww! "That's something !", pikir saya. Yang membuat inisiatifnya kali ini adalah "wow" bagi saya adalah karena ia meminta saya untuk meniru doanya sebagian demi sebagian, seperti yang biasa gurunya di sekolah maupun yang biasa saya lakukan. Dan sayapun segera mengiyakannya.

Antara lain, seingat saya, begini doanya,  yang kemudian ditiru oleh saya sebagian demi sebagian seperti yang Yosua minta untuk saya lakukan (saya penganut Kristen): "Tuhan Yesus...Yosua mau tidur...tadi Yosua sekolah..trus makan sayur..trus main mobil..trus main sepeda..amin."

Mudah-mudahan artikel singkat ini boleh menjadi inspirasi bagi kita semua untuk terus melatih diri sendiri dan tentunya melatih anak-anak kita untuk terus meningkatkan jam doa, mulai dari usia dini:) :) :)


Sumber Gambar : urlesque.com