Hidup tanpa asisten rumah tangga? Mmm..mungkin bagi
teman-teman yang sudah terbiasa dengan hal ini, hidup tanpa ART tidaklah luar
biasa. Namun, ketika pertama kali ditantang suami untuk hidup tanpa ART kok
saya rasanya nggak pede ya? Maklum, sejak kecil saya “hidup” dengan keberadaan
ART. Dan sejak menikahpun, saya adalah wanita pekerja yang “taunya” cuma kerja
pagi sampai sore, kemudian urus anak sampai anak tertidur. Nggak ada tuh dalam
kamus saya yang namanya saya harus
mencuci dan menjemur pakaian :) Namun ide itu tercetus pertama kali ketika ART kami memutuskan untuk mengundurkan
diri. Saat itu saya tidak melarang beliau untuk mengundurkan diri, karena
sebenarnya dalam hati kecil saya, ada keinginan untuk melepaskan “ketergantungan”
pada orang lain di dalam hal mengurus rumah tangga.
Hari-hari pertama “hidup” tanpa ART begitu melelahkan. Cuapeeeeek
buanget rasanya nih badanJ
Padahal kondisinya adalah saya masih “didatangkan” ART ibu saya 3 hari
seminggu, dimana beliau tidak menginap. Namun mungkin karena badan
ini belum terbiasa, meskipun saya tidak masak, badan terasa sangat capek, tak
jarang memicu emosi dan beberapa kali menyebabkan saya “berantem” dengan suami :(
Namun setelah saya jalani beberapa minggu, 1 bulan, 2 bulan,
badan ini mulai terbiasa. Yang tadinya mencuci piring menumpuk nampak begituuu
berat buat saya, sekarang saya sudah mulai terbiasa tidak menumpuk cucian
melainkan berusaha langsung mencuci begitu melihat ada piring kotor di bak. Yang
sebelumnya saya hampir tidak pernah memasak, sekarang saya mulai mencoba
resep-resep masakan walaupun masih resep sarapan yang mudah dan praktis hehehe.
Yang sebelumnya saya sama sekali tidak pernah berkebun, sekarang saya mulai
belajar menanam sayuran secara hidroponikJ
Yang sebelumnya kurang ada “urgency” untuk mengajar anak melakukan pekerjaan
rumah tangga, sekarang kami mulai memberlakukan jadwal pembagian tugas harian
bagi anak-anak kami, Yosua (5 tahun) dan Ester (2 tahun). Yang sebelumnya saya hampir tidak pernah
berkomunikasi dengan mereka yang bekerja di lingkungan perumahan kami seperti
ART tetangga, hansip maupun tukang yang sedang bekerja di rumah kami, sekarang
saya “belajar” berkomunikasi dengan mereka. Dan yang sebelumnya saya hampir tidak
pernah menyentuh pekerjaan rumah tangga yang “remeh-temeh dan kadang jorok”,
sekarang mau tidak mau saya harus mengepel, menjemur pakaian, termasuk membuang
bangkai tikus! (untuk yang terakhir ini, saya sungguh bangga pada diri saya
sendiri hahaha)
Dan lambat laun, apa yang saya dan suami “usahakan” untuk
mengajar anak-anak “mandiri” mulai membuahkan hasil. Kami menghargai setiap
hasil yang terlihat, sekecil apapun itu. Yosua mencuci piringnya sehabis makan
malam (ia baru setuju melakukan ini sehari sekali, jadi baru malam hari hehe), ataupun
mengambil tisu untuk membersihkan sisa makanannya yang tumpah di lantai, adalah
beberapa contoh kemandirian Yosua yang mulai kami nikmati. Bahkan mencuci sepeda
dan membuat cemilan sore adalah beberapa hal yang kadang kami lakukan bersama.
Ketiadaan ART yang standby
setiap saat juga memberikan kami privacy
yang pooool:) Kalau dulu saat di meja makan saya dan suami
harus “menyeleksi” apa yang bisa kami perbincangkan dan apa yang tidak (maklum,
ruang makan kami tidak jauh dari kamar ART), sekarang tidak lagi:)
Kalau dipikir-pikir, ternyata kondisi kami saat ini (ART
hanya datang seminggu 3x) jauh lebih menguntungkan dalam
segi pembelajaran baik bagi saya, suami, maupun kedua anak kami yang masih
kecil. Saya dan suami sungguh berharap, proses pembelajaran ini dapat berjalan semakin
baik dan membuahkan kemandirian bagi kami terutama anak-anak sehingga kelak
mereka dapat menjadi manusia yang tidak tergantung pada orang lain melainkan
menjadi manusia yang bermanfaat bagi banyak orang..amin.