horizontal banner

Friday 25 May 2018

Otoritas dan Ketaatan

Tadi teman-teman praktisi Charlotte Mason ("CMer") kembali bertemu untuk membahas bab 4 dari volume 6 Homeschooling Series-nya Charlotte Mason. Bab kali ini berjudul "Authority and Docility" alias "Otoritas dan Ketaatan".

DIsini dibahas pentingnya mengajarkan anak-anak kita untuk tunduk pada otoritas. Tentu otoritas pertama anak-anak adalah orangtua. Meskipun kita sebagai orangtua tidak boleh bertindak otoriter terhadap anak-anak, namun sudah seharusnya kita sebagai pemegang otoritas atas anak-anak, mengajarkan mereka bahwa mereka harus tunduk, taat pada orangtua. Dan yang menarik disini adalah ketaatan seperti apa yang diharapkan dari anak-anak kita. Ternyata bukanlah ketaatan atau sikap tunduk yang berasal dari rasa takut akan hukuman, melainkan ketaatan yang didasarkan atas kerelaan. Ketaatan yang tidak didasarkan oleh paksaan. 

Bagaimana seorang anak dapat taat dengan kerelaan, tanpa paksaan? Ini akan terjadi apabila mereka melihat bahwa orangtua tidak menjalankan otoritasnya dengan sewenang-wenang, dan tidak menjalankan otoritasnya berdasarkan ego orangtua; melainkan anak-anak juga melihat bahwa orangtuapun tunduk pada otoritas yang lebih tinggi. Sebagai contoh, istri tunduk pada suami; sebagai anggota masyarakat, orangtua tunduk pada Pemerintah. Dan pastinya, orangtuapun tunduk pada Tuhan.

Selain itu, apa yang harus dilakukan orangtua atau pendidik agar anak-anak dapat taat dengan kerelaan, tanpa paksaan? Caranya adalah dengan mengijinkan mereka mengambil bagian dalam proses pendidikan mereka. Tugas orangtua atau pendidik hanyalah menyuguhkan anak-anak dengan bacaan-bacaan yang terbaik, dan biarkan anak-anak membacanya, menelaahnya, merenungkannya, dan memilih bagian-bagian bacaan yang mana untuk dijadikan bagian dari diri mereka. Namun bacaan yang kita suguhkan bagi mereka haruslah bacaan-bacaan yang terbaik, bukan bacaan-bacaan yang "garing" dan "tidak hidup". Dari bacaan-bacaan inilah, anak-anak kita akan terbiasa untuk berpikir, mengasimilasi, dan bertumbuh dalam karakter. Bacaan-bacaan bermutu seperti ini akan menggugah benak anak-anak kita sehingga menjadikan mereka bertumbuh dalam karakter dan kepribadian. Dan ketika pikiran dan mental mereka terus bertumbuh, saat itulah anak-anak akan sanggup taat pada otoritas dengan kerelaan, tanpa paksaan.

Sayangnya, dalam prakteknya, banyak orangtua dan pendidik yang "tidak mengijinkan" anak-anak untuk andil dalam proses pendidikan mereka. Ketimbang menyuguhkan anak-anak dengan bacaan-bacaan terbaik, orangtua atau pendidik berusaha keras untuk mempersiapkan materi ajar sedemikian rupa sehingga materi tersebut nampak begitu menarik bagi anak-anak, lengkap dengan ilustrasi dan alat peraganya yang "meriah", atau menyediakan bagi mereka ringkasan dari bacaan materi belajar, dan pertanyaan-pertanyaan testing yang "menjemukan". 

Proses belajar seperti ini sebenarnya tidak melatih anak-anak kita untuk berpikir, melainkan orangtua dan pendidiklah yang melakukan proses berpikir itu bagi mereka. Secara tidak sadar, orangtua dan pendidik telah "meremehkan" kemampuan anak-anak dalam berpikir dan berfokus, padahal mereka memiliki kemampuan yang luar biasa di ranah ini. Pendidik seringkali berusaha sekuat tenaga untuk membuat anak-anak fokus. Padahal sesungguhnya kemampuan fokus sudah ada dalam diri anak, tinggal menunggu untuk difungsikan oleh anak, ibarat lampu untuk menyala tinggal ditekan tombolnya. Pertanyaannya kembali lagi, apakah pendidik sudah menyuguhkan anak-anak dengan bacaan-bacaan yang terbaik? 

Dan yang juga menjadi masalah di lapangan adalah banyaknya orangtua maupun pendidik yang masih "meremehkan" ilmu, "meremehkan" arti pendidikan. Bagi mereka, seseorang mencari ilmu hanyalah demi kelak mencari uang dan menjadi anggota masyarakat yang baik. Padahal sesungguhnya tugas pendidikan adalah jauh lebih mulia dari itu! Semakin seseorang kaya ilmu, semakin utuhlah ia sebagai manusia. Semakin ia utuh sebagai manusia, semakin efektiflah ia dalam pekerjaannya dan semakin bermanfaatlah ia bagi sesama! Dan sekali lagi, dalam proses pendidikan ini, betapa pentingnya kemampuan fokus seseorang. Dan kemampuan ini sudah ada dalam diri anak-anak kita! Dengan kemampuan ini, anak-anak kita mampu menikmati ilmu yang mereka pelajari, yang mana hal ini tentu akan memuaskan keingintahuan mereka yang besar!

Sebuah catatan di bawah ini bisa menjadi contoh seorang anak yang disuguhi bacaan-bacaan terbaik dan memberi kesempatan bagi si anak untuk andil dalam proses pendidikannya sendiri: "Ibu saya mengajak seorang anak ke Westminster Abbey. Disana, si anak menceritakan begitu banyak hal kepada saya mengenai hal-hal yang kami saksikan disana. Anak itu sangat menyukai arsitektur. Dia juga begitu antusias untuk mengunjungi British Museum. Ia ingin menyaksikan hal-hal yang ia telah baca di pelajarannya terdahulu. Dan keesokan harinyapun kami kesana. Saat berada di Parthenon Room, dia dapat menceritakan banyak hal dengan amat detil! Dia mengajarkan banyak hal pada saya!"

Betapa luar biasanya ketika seorang anak dapat andil dalam proses pendidikannya sendiri, saat anak dapat "mengajar" dirinya sendiri. Dengan proses pendidikan seperti ini, kita tidak akan lagi menyaksikan para lulusan sekolah tanpa minat ilmu. Sebaliknya, anak-anak kita akan berminat pada ilmu, pelajaran sejarah dan sastra tidak akan membosankan bagi mereka, hasil penelitian terbaru akan menarik minat mereka, dan kehidupan dewasa mereka kelak akan utuh sebagai manusia, tidak sekedar hidup untuk mencari uang dan bersosialisasi.