horizontal banner

Saturday 5 September 2020

Anak Belajar Sejarah

 

Saat ditanya apa yang saya ingat mengenai pelajaran Sejarah saat duduk di bangku sekolah dulu, saya akan menjawab, “banyak hafalan tahunnya”, “membosankan”, “banyak hafalan nama perang ini perang ono”, “yang pasti bukan pelajaran favorit”. Dan mungkin teman-teman ada yang berpikir sama ya?

            Namun saat saya menjadi ibu dari dua orang anak yang meng-homeschool­-kan anak-anak kami, sayapun membaca beberapa sumber dan saat saya membaca serial Home Education yang ditulis oleh seorang tokoh pendidikan asal Inggris yang bernama Charlotte Mason (selanjutnya saya singkat “CM”), mata saya seolah-olah dibukakan begitu lebar.

Bagaimana tidak? Menurut beliau, pendidikan itu seharusnya merupakan pendidikan karakter yang membawa setiap anak menjadi semakin mengasihi Tuhan, sesama, dan alam semesta. Dan saat berbicara aspek “sesame” disini, penting bagi setiap anak (termasuk orangtuanya tentu saja) untuk mengetahui seperti apa nenek moyangnya, seperti apa budaya tempatnya berasal, ataupun budaya tempatnya berada. Berawal dari pengetahuan, diharapkan kemudian timbul empati, dan timbul tindakan nyata untuk berkontribusi memperbaiki keadaan.  Dan budaya masyarakat tidaklah terlepas dari sejarah masyarakat tersebut. Bagaimana sekelompok orang berpikir dan bertindak tidak terlepas dari sejarah kelompok tersebut. Bahkan, jika kita membaca buku-buku sejarah, menurut sumber yang saya baca, sesungguhnya perilaku manusia itu, meskipun jaman terus berubah, ada benang merah disana.

Pemberontakan, perebutan kekuasaan, ketidakadilan, pengkhianatan, bukan baru terjadi belakangan ini melainkan sudah sejak jaman nenek moyang kita dulu. Namun sebaliknya: kisah-kisah patriotisme, kisah-kisah mereka yang berkontribusi besar melakukan kebaikan namun tidak ingin mengumbar perihal tersebut, juga telah ada sejak jaman nenek moyang kita. Artinya, banyak hal yang dapat kita pelajari dari perilaku-perilaku para pendahulu kita: bagaimana mereka berpikir ataupun bersikap saat mereka menghadapi permasalahan tertentu. Tentunya dari sini kita dapat mencontoh yang baik, dan membuang yang kurang baik.

Alangkah senangnya saya saat saya mengetahui jenis buku yang disarankan oleh CM untuk dibaca oleh anak-anak saat mereka belajar Sejarah. Buku-buku yang disarankan sangatlah berbeda dengan buku-buku pelajaran Sejarah saya dulu. Kalau dulu biasanya kita menggunakan buku-buku teks yang hanya berisi fakta-fakta yang membosankan, CM meminta para guru dan orangtua untuk menyajikan bagi anak buku-buku sejarah yang naratif, ditulis oleh para penulis yang memiliki “passion” besar terhadap apa yang ditulis, sehingga buku-buku jenis ini biasanya memiliki tata bahasa penulisan yang sastrawi, jalan cerita yang menggugah benak pembaca, serta memancing imajinasi dan rasa ingin tahu anak. Alhasil kisah-kisah di dalamnya lebih banyak “berbicara” pada anak dan bukan hanya pengetahuan anak bertambah, hati dan pikiran anakpun “terpengaruh” oleh segala kebajikan yang ada di tulisan tersebut. Dengan kata lain, bacaan seperti ini bisa merubah karakter pembaca ke arah yang lebih baik.

Saat ini anak saya yang sulung, Yosua (12 tahun), bersama saya sedang membaca buku biografi Sukarno yang ditulis oleh Cindy Adams. Di buku itu diceritakan antara lain kisah-kisah awal Sukarno memulai kiprahnya berpidato mengumandangkan perihal kemerdekaan Indonesia di hadapan orang banyak dimana hal ini membuat kompeni tidak menyukainya hingga iapun harus rela beberapa kali ditangkap untuk dikemudian dipenjarakan bahkan diasingkan ke pulau terpencil. Tulisan ini juga menyuguhkan bagaimana kehidupan Sukarno saat diasingkan. Bagaimana kehidupan yang dijalaninya di pengasingan sangatlah sederhana, dan selama itu ia diawasi oleh petugas agar tidak sembarangan berkomunikasi dengan penduduk setempat. Dari bacaan ini tentu muncul pertanyaan-pertanyaan dari Yosua dan kamipun bisa berdiskusi.

“Wih, menikahnya cepat banget ya kalau jaman dulu”

“Kenapa kok polisi nggak suka kalau Sukarno pidato begitu?”

“Ih, nggak enak banget ya kalau harus dipenjara kayak gitu”

Di atas adalah beberapa komentar Yosua.

Saya juga ingat betul saat kami membaca buku Trial and Triumph yang ditulis oleh Richard M. Hannula. Buku ini mengisahkan sejarah orang Kristen pada tahun-tahun awal Gereja. Disinilah Yosua menemukan kisah orang-orang Kristen yang harus menderita banyak aniaya demi mempertahankan iman mereka, mulai dari anak muda sampai orangtua, mulai dari orang biasa-biasa sampai pemimpin negeri.

Dan CM juga menghimbau anak-anak kita agar memiliki satu buku khusus dimana di dalamnya dicatat sedemikian rupa perihal tahun terjadinya peristiwa-peristiwa penting yang dialami tokoh-tokoh yang mereka baca, sehingga dengan demikian, mereka bisa melihat keterkaitan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, antara satu tokoh dengan tokoh lainnya, bahkan antara satu budaya dengan budaya lainnya. Buku ini biasa disebut Book of Century, atau sekedar disebut Timeline.




Pada gambar di atas terlihat contoh peristiwa Marco Polo (Itali) mengunjungi Kublai Khan (Cina) pada sekitar tahun 1260, sementara kerajaan Majapahit berjaya pada sekitar tahun itu. Dari sini ada benang merah antara kedua peristiwa tersebut, bahwa memang saat itu banyak pedagang dari Eropa yang mendatangi wilayah Asia untuk mencari barang-barang yang tidak mudah ditemukan di wilayah Eropa.

Atau saat Yosua sedang menggandrungi komposer-komposer dunia seperti Antonio Vivaldi, Handel ataupun Sebastian Bach, ketiga tokoh ini ternyata hidup pada periode yang hampir sama dengan saat pecahnya perang antara Sultan Hassanudin dengan Belanda. Dan ini juga hampir bersamaan dengan peristiwa saat seorang martir Kristen yang bernama Margaret Wilson asal Skotlandia harus menderita hukuman mati dengan cara ditenggelamkan saat ia mempertahankan imannya. Terlihat bagaimana pada periode yang sama, di belahan dunia yang berbeda, telah terjadi peristiwa-peristiwa yang begitu berbeda satu sama lain. Namun apabila pembelajaran ini diteruskan, bukan tidak mungkin akan muncul benang merah dari ketiga peristiwa ini.

Begitupun dengan anak saya, Ester (9 tahun) yang saat ini bersama saya sedang membaca buku Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman terbitan Pustaka Jaya. Ester nampak bingung saat diceritakan bahwa Taman Siswa hendak ditutup oleh Belanda.

“Kenapa mau ditutup, Ma? Taman Siswa itu yang pernah kita dateng ya Ma?”, Ester bertanya.

Juga saat adegan Sudirman , yang saat itu masih menjadi kakak pembina pasukan kelana, pergi berkemah, dimana saat dini hari mereka melihat sekelompok “hantu” berbaris kearah sungai, dan ternyata pasukan “hantu” itu adalah sekelompok wanita bermukena yang menutupi wajah mereka dikarenakan udara dini hari yang sangat dingin, Esterpun menganggap adegan itu lucu.

“Oh, mukenanya kan warna putih ya ma..”

    Saat anak-anak kita “bergaul” dengan buku-buku yang naratif dan menggugah seperti itu, ditambah kita minta anak-anak menceritakan kembali apa yang telah mereka baca, tentunya pengetahuan ini akan “melekat” lebih lama dalam diri mereka. Jika di kemudian hari mereka membaca buku-buku lain, dan seiring waktu pengalaman hidup mereka bertambah banyak, kita berharap pengetahuan mereka akan sejarah peradaban manusia di muka bumi ini semakin lengkap, sehingga tujuan akhir dari kesemua ini yaitu untuk memperlengkapi mereka agar kelak membawa kebaikan bagi lingkungan mereka, akan tercapai. Bukan perkara mudah memang. Juga bukan sulap yang begitu kita lontarkan kata “binsalabim” lalu anak-anak kita langsung berubah menjadi anak-anak yang bersahaja dan berkarakter mulia.

Namun, mudah-mudahan dengan berusaha memberikan buku-buku yang terbaik bagi mereka, berusaha untuk menjadi teladan bagi mereka , dan berusaha mendidik mereka  membentuk kebiasaan-kebiasaan yang baik, anak-anak kita kelak tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang memahami betul tugasnya dalam kehidupan ini, serta dapat membawa manfaat bukan hanya untuk dirinya sendiri, namun terlebih penting adalah untuk Sang Pencipta, sesama, dan alam semesta. Paling tidak, sebagai orangtua, kita hanya bisa berusaha melakukan bagian kita, namun atas segalanya, Tuhanlah yang berkehendak dan mampu menjadikan.

No comments:

Post a Comment